sonorous soirées



Perih. Telapak kakiku perih, dari sana mengalir tetesan darah yang tidak lagi tampak merah.

Pasti disebabkan oleh satu dua beling yang tersebar di seluruh lantai. Perbuatan siapa mereka begitu? Pasti diriku. Kuperhatikan satu persatu. “Ulah siapa?” kutanya. Satu dua beling tampak ragu. Mereka berkedip, menunggu giliran menjawab.


“Oh, itulah patah hatimu dan berbotol-botol anggur masak yang kau minum agar hilang dari dunia,” jawab mereka.


Begitu? Pastilah sakit sekali hatiku saat itu, sebab aku sama sekali tidak mengingat apa yang terjadi dan mengapa berat sekali rasanya untuk menopang tulang rusuk sendiri. Kubilang, “Maaf, ya.” Betul, apa yang terjadi? Sesaat aku bermimpi tentang malam berwarna putih. Dan kunang-kunang menyenandungkan lagu pada bunga dandelion yang bersedih. Baiknya, mereka menidurkan dandelion dan meredupkan cahaya sendiri. Lalu terbanglah kelopak milik kawannya yang ringkih dan rapuh dan mungkin memang tak layak hidup. Barangkali, apabila saat itu tiba, surga mau menerimanya dengan senang hati sehingga tidak ada cahaya dari tubuhnya yang terbuang sia-sia. 


Lalu, bagaimana denganku?


Dan yang lebih membuatku bingung: kok, kau tidak ada di sini? Aku bertanya-tanya, mungkinkah malam terlalu putih dan embusan angin membuatmu terlalu enggan untuk peduli. Atau bagaimana? Tapi, memang apa hubungannya mimpi itu pada absennya sosokmu di sebelahku? 


“Kurasa, kamu hanya terlalu sakit hati pada dunia yang enggan menjadi seperti halnya impianmu,” ujar satu beling, “Ingatlah seberapa sering kau mengumpat pada hidup sendiri.” Kulirik sedikit, tampaknya ia adalah serpihan dari sebotol anggur yang baru habis setengah lalu terjatuh. Atau ku jatuhkan. Ucapannya begitu dalam. Pastilah petuah itu ia dapatkan dari orang yang baik sekali akalnya, atau mungkin tidak. 


“Dunia memang kejam. Akulah yang bersalah telah menjatuhkanmu.” Pada kilat permukaan beling itu, kuraba sedikit keraguan pada wajahku. Kami bergeming sejenak, sebelum ia kutanya balik. “Bagaimana rasanya jatuh? Apakah sakit?” 


Dalam hati kubatinkan, perlukah aku bertanya begitu? Aku sudah punya jawabannya. Itu kamu yang pernah mengajariku beberapa hal tentang jatuh—baik sekali kamu. Lantas kukembalikan diriku pada waktu di mana ada kalanya aku bahagia bersamamu. Lalu kukembalikan diriku pada waktu di mana satu-satunya hal yang terlihat hanya keheningan malam, atau siang, atau pagi—aku tak peduli. “Bagaimanakah rasanya jatuh?” Seseorang pernah bilang padaku kalau rasanya seperti melayang, sampai tahu-tahu tulangmu sudah hancur berkeping-keping dan kau tidak merasakan sakit apapun selain toreh luka yang disebabkan orang lain di masa lalu. 


Kubayangkan aku adalah sebotol anggur yang kujatuhkan beberapa saat lalu. Kalau sebuah botol yang tampak kokoh saja hancur lebur begitu, lantas bagaimana nasibnya harapan yang kugantungkan tinggi-tinggi pada liontin lampu di langit-langit? Sebentar lagi sudah pasti akan habis takdirnya. Sebab selayaknya botol, harapanku berongga terlalu besar.  Malang nian.


Namun sungguh, bagaimana sebenarnya rasanya jatuh? Tanpa kuduga, beling itu justru menggeleng. Sanggahnya, “Aku tidak merasakan apa-apa sebab sesaat setelah jatuh, hiduplah aku dan kawan-kawanku. Semuanya berkat dirimu.”


Oh, begitu, ya? 


“Rupanya, kau hanya manusia yang tak banyak paham tentang kehidupan, ya.”


Memang betul. Kurebahkan punggung kembali pada tangan sofa, seraya membalas, “Memangnya seberapa hidupkah kau lihat aku kini? Sayang sekali, kau sama tak pekanya pada dunia.”


Beling itu mengedikkan bahu. “Sudahlah.”


“Maaf, ya.” Maafkan aku. Samar-samar kamu pasti mendengarku meminta maaf. Meski begitu, tetap kupalingkan wajah dari omong kosong ini. Toh, kamu tidak lagi hadir. Namun aku justru merasa aneh sebab kenyataan itu pahit tapi sama manisnya seperti madu milik kawan kunang-kunang yang dengan senang hati kusesap. Tapi, apa artinya manis kalau hidup pun aku enggan? 


Kling kling, denting si beling. Sesaat kemudian seluruh ruangan terasa berdentum, itu pasti dari detak jantungku yang tak karuan dan memenuhi rongga telinga. Segelas anggur tersisa ku teguk sekali. Di luar, malam telah menjadi putih. Seputih kemejamu yang tak terkancing dua selalu, seputih tirai jendela terlepas dari noda yang terjatuh, atau seputih politik dunia yang tentunya palsu. Atau mungkin justru seputih perasaan yang agaknya kupaksakan lenyap seiring waktu. 


Satu dua beling bersenandung lesu. Kling kling. Kulihat dari balik jendela, seekor kunang-kunang berlatar malam melambai padaku. Kuanggukan kepala padanya. Kling kling. Kling! Gelas yang telah kosong kuletakkan kembali ke meja dan tampaknya, malam ini, terpaksa tak lagi ingin kuingat detail tentang wajah dan seluruhnya kamu. 



Comments

  1. crying sobbing shaking this is so beautiful but my heart hurts

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts