Kunjungan
“Croissant, tiga, dengan isi selai cokelat buah kemiri—eh, hazelnut, maksudku. Silahkan, dan selamat hari Natal, Madame Monsieur. Tolong datang lagi lain kali. Terima kasih,” kata seorang pelanggan sebelum ia merobek struk belanja dan menyerahkannya beserta sekantung kecil isi croisant pada satu pelanggan, wanita tua yang mengangguk angkuh. Pelayan itu mengernyit sebentar, tak paham. Namun keheranan tersebut juga berlalu sama cepatnya, diabaikan setelah pelanggan selanjutnya maju selangkah lebih dekat seraya meletakkan nampan.
Kedai memang sedang ramai-ramainya, selama yang kuperhatikan. Satu loyang di etalase ludes, satu lagi, lalu dua, tiga. Jelas tak sebanding dengan penggemar roti kebanggaan karya Couronne de Pain (Crown of Bread) yang selalu datang berkunjung. Croisant, muffin, bagel, kukis, dan sekawanannya bisa didapatkan dengan harga terjangkau dengan kualitas yang jelas tak bisa diremehkan. Saveur fantastique!
Tak akan pernah sepi pengunjung sampai semua habis tak bersisa. Terdengar berlebihan? Tidak. Bahkan hari natal sekalipun dianggap tidak berpengaruh pada kapasitas pelanggan Courounne de Pain. Nyatanya memang selalu ramai, tanpa terikat apa pun.
Tak akan pernah sepi pengunjung sampai semua habis tak bersisa. Terdengar berlebihan? Tidak. Bahkan hari natal sekalipun dianggap tidak berpengaruh pada kapasitas pelanggan Courounne de Pain. Nyatanya memang selalu ramai, tanpa terikat apa pun.
“Selamat hari Natal, Merry Christmast!”
“Anda mendapatkan diskon karena telah berbelanja lebih dari—“
“Ada yang bisa saya bantu, Madame?”
Denting lonceng.
Satu orang berkunjung, lalu pergi. Dua orang berkunjung, lalu pergi. Lima orang berkunjung, lalu pergi. Lagi, lagi, lagi.
“Silahkan datang kembali!”
Denting lonceng. Lagi, lagi, lagi.
Kunjungan tiada habis demi onggokan roti beraroma sedap. Sementara aku hanya duduk mengamati di bagian kafetaria kedai, menghadap barat daya sebagai kiblat. Bukan penggemar roti, apalagi keramaian kedai. Tidak juga dengan kopinya—Courounne de Pain hanya hebat untuk roti, tapi kopi mereka payah. Kesimpulannya, aku tidak datang untuk ketiganya.
Aku datang sebagai seorang pujangga kesepian, ditemani teh panas (sudah kubilang karena kopi mereka payah) dan seperangkat alat tulis untuk kugunakan menulis, tentu saja. Namun membuang waktu tanpa alasan—seperti yang kau duga tadi—tidak akan pernah berada dalam daftar kegiatanku sehari-hari.
Jadi coba tanyakan alasanku. Maka jawabannya; karena selain seorang pujangga, peranku juga meliput sebagai perjaka yang sedang jatuh cinta.
Jadi coba tanyakan alasanku. Maka jawabannya; karena selain seorang pujangga, peranku juga meliput sebagai perjaka yang sedang jatuh cinta.
Namanya Cinderella, si gadis pelayan. Sederhana tapi memikat mata. Dia gadis yang kutaksir.
Anehnya, aku punya rincian sejarah yang lucu dengannya. Saat pekan pertama aku rutin mendatangi Courounne de Pain hanya untuk menemui Cinderella, aku menyadari bahwa gadis jelita itu merupakan pekerja serabutan. Entah apa yang membuatnya memilih bekerja seperti itu dibanding mencari pekerjaan tetap. Namun yang jelas, hal itu membuatku kerepotan untuk mencari tahu kapan dan dimana ia akan berada untuk bekerja setiap harinya. Lama-lama, aku merasa putus asa sekaligus kehilangan jati diri sebagai seorang pria sejati. Maka, demi mengembalikan harga diri tersebut, aku melakukan satu aksi nekat: berkunjung ke rumahnya.
“Selamat sore, Mademoiselle,” kataku, mengangkat topi.
“Selamat sore, Monsieur,” kata Cinderella. “Ada yang bisa saya bantu?”
“Petugas sensus.”
“Oh! Silahkan masuk. Teh atau kopi, Monsieur?”
Dengan begitu, satu permasalahanku selesai tanpa gadis itu tahu bahwa aku hanyalah petugas sensus gadungan.
Jadi, setiap Senin dan Kamis sesuai shift kerja paruh waktunya (yang ia beberkan secara terang-terangan dan tanpa curiga kepadaku), kusempatkan diriku untuk datang ke kedai ini tiap sepulang kerja. Duduk di sana. Menyeruput teh. Menulis beberapa kalimat sok penting. Memandangi Cinderella selama tiga puluh menit sekaligus menghilangkan penat. Kadang tidak sengaja tertidur. Lalu pulang ke rumah dengan sebungkus roti isi yang sudah dingin dari Courounne de Pain—yang memang kuakui sangat lezat.
Lalu, setiap Rabu dan Sabtu sesuai shift kerja paruh waktunya, aku menyempatkan diri untuk pulang kerja tiga puluh menit lebih awal demi mendatangi toko permen tempatnya bekerja.
Tidak akan terasa aneh apabila aku hanya duduk untuk menyeruput teh di Courounne de Pain, tapi lain halnya apabila aku datang untuk melakukan hal yang sama di toko permen. Kali pertama aku datang ke sana, Cinderella langsung mengenaliku dan bertanya dengan gurau, ada apa gerangan seorang pria dewasa datang ke toko permen. Kujawab saja, “Permen warna-warni di atas meja itu memanggilku.”
“Toples kaca, maksud Anda?”
“Ya, itu.”
“Anda tipe yang suka manis, ya?”
“Tidak,” jawabku terlalu cepat. “Err—tolong bungkus permen di belakangmu untukku. Seratus gram saja. Terima kasih.”
Kemudian, setiap hari Jumat, sesuai shift kerja paruh waktunya, Cinderella akan melayani pengunjungnya di sebuah toko bunga, dan aku akan menyempatkan diri untuk memutari rute dengan berjalan kaki sepulang kerja hanya demi membeli beberapa tangkai. Dan agar jangka kunjunganku di toko bunga itu bisa berlangsung lama, maka aku menerapkan sebuah siasat baru: membeli bunga dari satu pot ke pot lain, dimulai dari pinggir. Jika sudah habis, ulangi.
“Monsieur!” sapanya. “Anda datang lagi. Saya senang sekali, tentu saja. Silahkan memilih.”
Hari ini giliran pot ke enam dari kanan. Jadi, sambil menunjuk ke arah pot tersebut, kukatakan, “Tolong bunga ini, bungkus seperti biasa.”
Namun anehnya, Cinderella malah terkejut. “Astaga, saya turut berduka!”
“Maaf?”
“Bunga krisan digunakan untuk berkabung, Monsieur.”
“Ah, ya .... Terima kasih.”
“Maafkan saya, tapi jika saja saya boleh mengetahuinya, siapa yang meninggal, Monsieur? Saya akan ikut mendoakan, sudah pasti itu.”
Aku diam. “Nenekku.”
Padahal beliau sudah meninggal puluhan tahun lalu.
Satu demi satu tangkai bunga kujinjing pulang, mengakibatkan rumahku terlihat semakin feminim dari waktu ke waktu. Baiknya, Ibuku kegirangan karena bunga-bunga itu selalu kuberikan padanya, berkata ia jadi merindukan sosok sang suami yang lebih dulu berpulang. Keponakanku—Bill—juga selalu kegirangan. Setiap aku pulang dari toko permen, ia akan setia berdiri menungguku dan bertanya, “Kau bawa permen hari ini, kan?” Sebab itulah, semenjak mengunjungi Cinderella secara rutin, alih-alih mengeluh, aku justru merasa bersyukur. Seperti sensasi ketika menggigit roti Courounne de Pain, atau mencecap manis permen, atau ketika menghirup wanginya bunga segar.
Kupikir aku beruntung karena telah menemukan sosok gadis itu. Karena rupanya, kebahagiaan kecilku ikut menular pada Ibu dan Bill—yang baru kusadari menimbulkan efek lain, yaitu kehangatan rumah yang sempat hilang berangsur-angsur kembali. Dan demi semua itu, hampir setiap sore aku dan dia bertatap muka. Tanpa absen, tanpa minus, tanpa bertele-tele. Wajahnya gembira melayaniku, sementara aku terhipnotis menghambur-hamburkan uang pada macam hal.
Tidak satu pun dari kunjungan yang selama ini kulakukan dilakukan secara tidak sukarela. Aku menyukainya, dan beginilah caraku untuk terus menyukai.
Sehingga pada beberapa waktu, ada kalanya aku berjanji pada diri sendiri untuk terus mengunjunginya. Yaitu ketika kakiku melangkah keluar toko, dan gadis itu berkata, “Silahkan berkunjung kembali, Monsieur.”
Yang kemudian kubalas, “Selalu. Sampai jumpa lagi.”
Di situ lah letak janjiku berada.
The end.
Comments
Post a Comment