Delightful Vision of Love We Invented
If love does not meant to last forever; I'd rather not to love at all.
"Tahu apa yang keren dari cinta?"
Aku menghentikan gerakanku untuk menggigit roti isi dan menoleh padanya. Orang ini, pikirku. Masih kagum tentang betapa kelewat wajar-nya pertanyaan-pertanyaan yang dia selalu lontarkan bahkan setelah lamanya waktu yang kita habiskan bersama—sebagai teman. "Coba kupikir," kataku, pura-pura. "Tidak tahu, deh."
"Tidak asik."
Aku berdecak. "Kau sendiri tahu apa memangnya tentang cinta?"
"Asal kau tahu aku punya banyak histori tentang itu. Memangnya kau?" ejeknya seraya memberikan raut wajah puas atas penyampaiannya yang tidak penting-penting amat itu.
Kukembalikan atensi pada novel yang kupegang, mengabaikan ledekannya. "Sebaiknya kau minum saja tehmu sebelum dingin."
"Sudah dingin," dia bilang, lalu menyeruput tehnya keras-keras dengan sengaja. Menyebalkan sekali. Namun seolah belum puas, ia menyolekku di lengan seraya berkata, "Hei, boleh aku tanya?"
Spontan aku mengerang. "Tidak bisakah kau diam sejenak? Sweet Jesus, aku sedang membaca!" Aku memutar bola mata. Orang-orang di sekitar pasti sudah melihat sangsi ke arah kami, mengira bahwa kami bertengkar dan terlalu ribut. Aku mengerjap malu. Tapi tidak dengan laki-laki ini. Alih-alih minta maaf, dia justru melempar kepala ke belakang dan terbahak.
"Oh, ya. Aku memang bercanda," sinisku, tapi beberapa detik kemudian ikut tertawa bersamanya. "Oke, tanya apa?"
Lelaki itu menyeka air di ujung matanya, masih tersenggal. Tangannya yang tadi memukul meja karena terbahak membuat tehnya tumpah sedikit dan mengenai lengan bajunya. Dan juga membuatku harus memindahkan novel ke pangkuan. "Aku tadi mau tanya, novel yang kau baca itu, tentang apa?"
"Oh... hanya tentang, err—percintaan klise, kurasa."
"Nah, tepat sekali," katanya, menyadari sesuatu. "Itu dia."
"Apanya?"
"Kau tahu, kau selalu membaca dan menonton segala sesuatu yang berhubungan dengan cinta, tapi tidak pernah sekalipun mencoba untuk melakukannya dengan orang lain. Kau—berapa? Oh, ya, dua puluh tahun. Itu umur yang cukup untuk memulai hubungan serius, kau tidak sadar, ya? Maksudku, kau tidak jelek-jelek amat, dan kau tipe perempuan yang cukup romantis, tapi kau malah menolak semua laki-laki yang—oh, ayolah, jangan memberiku tatapan seperti itu."
Itu membuatku bingung. "Aku tidak memberimu tatapan apapun. Hanya bertanya lewat mataku: poinmu ini apa?"
Dia menyingkirkan tehnya ke samping dan menyingsing lengan baju yang tampak sia-sia karena beberapa detik kemudian sudah kembali seperti semula. "Well—kau banyak mencari tahu tentang cinta... secara fiktif, tapi tidak pernah mau melakukannya di kehidupan nyata." Matanya memberiku kilatan rasa penasaran. "Kenapa? Bukankah sama saja?"
"Itu saja pertanyaanmu?"
"Yah, kurasa. Keberatan?"
"Tidak—dan oke." Aku memberi jeda untuk merapatkan mantel dan merangkai kata-kata. Yang sebenarnya kulakukan karena tidak terbiasa melakukan konversasi sambil memandangi mata sang lawan bicara. Membuatku gugup. Jadi kupandangi sekilas kedai yang tidak ramai pengunjung. Sampai-sampai membuatku bertanya kenapa kami malah duduk di ujung ruangan, bukannya di dekat mesin pemanas. Alat itu tidak terlalu berguna dari jarak sejauh ini. "Kau serius ingin tahu apa yang kutemukan dari beberapa novel dan film itu?"
Kepalanya mengangguk mantap.
Aku mendesah, menunjukkan raut serius. "Well—tidak hanya novel dan film, sebenarnya. Aku juga memperhatikan pasangan-pasangan di dekatku. Orang tuaku; kakakku; paman; bibi; dan lainnya. Mereka memberi tahuku banyak tentang cinta. Indah, tulus, menyenangkan, bahagia, majikal—kalau aku tidak berlebihan."
"Oke ...."
"Tapi mereka juga mengajariku kalau... tidak ada yang sejati, termasuk cinta. Dengan siklus yang selalu sama. Seseorang bertemu tanpa sengaja dengan orang lain, lalu mereka saling menyukai, jatuh cinta, hingga dunia terasa hanya milik mereka berdua. Mereka akan bercumbu sepanjang hari, menghabiskan musim panas bersama, berpelukan sepanjang malam sambil bicara tentang masa depan. Lalu di suatu waktu—setelah waktu yang cukup lama mengenal satu sama lain lebih dalam—mereka akan bertengkar. Semakin lama semakin parah, kemudian—tara! Berpisah. Tidak ada lagi 'aku cinta kamu sampai mau mati', bahkan juga tidak hanya untuk menyapa secara informal ketika berpapasan di toko swalayan."
Aku meliriknya dan menunggu respon dua sampai tiga detik hanya untuk mendengarnya bergumam, tanda menyuruhku untuk melanjutkan.
"Akan selalu ada perpisahan di setiap pertemuan—klasik, tapi benar. Ketika kau memutuskan untuk jatuh cinta, kau harus menyiapkan mentalmu untuk berpisah dengan orang tersebut kapan saja. Namun bukan di sana poin terberatnya. Tapi ketika kau menyadari bahwa semua yang sudah kau lakukan bersama, tidak akan terulang dengan orang yang sama lagi. Bukankah itu menyakitkan—melihat orang yang sangat dekat denganmu, menjadi orang asing dalam sekejap mata?"
Lelaki itu mengangguk, mengaitkan kedua tangannya di atas meja—rupanya masih mau mendengarkanku. Segala tingkah usilnya sudah hilang, tergantikan dengan raut serius—barangkali yang paling serius sejauh aku mengenalnya. Tampaknya, pembicaraan ini dia perhatikan lebih khusyuk dari yang aku duga.
"Kau tidak akan memberikan respon?"
"Biar kupikir." Dia mengulum bibir. "Kau tahu… tidak semua hubungan berakhir seperti itu," katanya, lebih seperti memberikan pernyataan dibanding pertanyaan.
"Aku tahu."
"Tidak semua pasangan yang berpisah akan berakhir menjadi orang asing. Bisa saja mereka menjadi teman, bahkan mungkin mereka bisa memahami satu sama lain lebih dalam dengan cara itu. Kau harus membiarkan cinta melakukan sihirnya."
"Tentu saja. Itu hal terkeren dari cinta, kan?" Aku mengangguk. "Tapi sihir yang kau maksud tidak bekerja pada semua orang, kau melupakan fakta satu itu. Kadang, ya, tapi terkadang juga—kita tidak punya opsi selain mengakui bahwa sihir tersebut tidak akan bekerja lewat cara apapun pada ceritamu."
"Jangan terlalu sinis padaku. Aku hanya mencoba memberi tahu bahwa tidak semua hubungan berakhir semenyedihkan itu."
"Ya, aku setuju. Tapi tetap saja.... Hubungan itu rumit, dan perasaanmu akan tersakiti karenanya. Maksudku—tidak bermaksud apa-apa—tapi, memangnya siapa yang butuh itu?"
Lelaki di hadapanku mengernyit, barangkali merasa tersinggung. "Kau tidak percaya cinta sejati, kalau begitu?"
"Aku percaya. Terjadi pada beberapa orang—yeah, tentu saja."
“Lalu?"
"Aku takut itu tidak terjadi padaku."
Dia menatapku sesaat. "Kau terlalu khawatir pada masa depan yang belum terjadi."
"Ya," jawabku dengan suara mencicit. "Mungkin aku memang diciptakan untuk itu. Dan mungkin... Mungkin aku tidak diciptakan untuk cinta."
"Lalu bagaimana kalau itu terjadi padamu? Cinta sejati itu. Tapi kau menolak seumur hidup dan kau jadi tidak mendapatkannya?"
"Aku—"
Dia menyela, "Kau tidak membiarkan siapapun untuk membuktikan bahwa kau salah."
Aku mengangguk cepat. "Aku tahu, aku tahu," kataku, memejamkan mata. "Tapi sudah pasti tidak akan semudah itu, bukan? Aku hanya... tidak siap untuk segala kemungkinan itu, kau tahu." Kuhindari tatapannya dengan beralih menatap lembaran novel penuh kata yang tampak buram karena tidak fokus. "Alasanku belum mau melakukannya adalah karena aku tidak siap merasakan kehilangan yang kubicarakan. Dan aku juga tidak yakin apakah aku akan bisa sepenuhnya sembuh ketika dipatahkan... Atau mematahkan."
Tidak ada balasan apapun darinya.
"Hei?"
"Ya."
Aku memang tidak pandai menatap lawan bicara ketika sedang berbicara—tidak dengan matanya yang seperti itu. Namun kali ini aku memberanikan diri, menikmati bagaimana kedua mata itu membuat dadaku mencelos. Kini aku menatapnya serius, jauh ke dalam mata coklatnya yang menatap teduh.
Ada sesuatu yang berpendar dari sepasang netranya. Barangkali sesuatu yang sudah kuketahui sejak lama—yang selama ini kusangkal. Mau tidak mau itu membuatku sadar atas apa saja yang telah ia lakukan untukku. Bagaimana dia sangat peduli pada hal-hal yang tidak berhubungan dengannya, bagaimana caranya memperlakukanku, atau menemaniku ketika aku merasa terlalu buruk hanya untuk membuka mata.
Tanpa sadar, tanganku beringsut meraih kedua tangannya yang masih tersemat. Dingin. Dan seolah memahami pesan yang kusampaikan secara inverbal, bibirnya yang terkatup akhirnya membentuk kurva ke atas. Perlahan dan tidak bertenaga. "Tidak apa-apa," katanya parau. "Aku paham."
Sudah jelas bahwa kedua matanya memberikan fakta sebaliknya.
"Maafkan aku."
"Yeah. Mungkin hanya soal waktu," balasnya. “Lagipula aku tidak akan memaksa.”
Kami terdiam.
"Aku hanya berharap ketika saatnya tiba, kau tidak akan pernah menyesal sebab aku telah menyerah—walaupun kecil kemungkinannya. Karena jangan-jangan sebenarnya itu aku..." Dia menghela napas, tersenyum lemah. "Yang bisa membuktikanmu salah."
Comments
Post a Comment