The Girl in the Art is Bored

Dihelanya napas lelah ketika pada akhirnya Sofé berhasil menduduki sebuah kursi putih di sudut ruangan. Dia merasakan jempol kakinya berkedut-kedut, pun tumitnya pasti sudah lecet dan akan membekas. Sungguh, lupa memakai kaus kaki di balik sepatu kets adalah hal yang sangat ceroboh. Tapi memang siapa yang menduga pameran seni yang didatanginya hari ini akan membutuhkan energi yang banyak dan—terutama—sepatu longgar?


Dia mengerang. Semua orang harusnya sudah menduga. Dimana-mana pameran seni, kan, pasti begitu.


Sofé melepaskan ujung sepatunya lalu menyenderkan punggung. Napasnya berat dan matanya sudah lelah, untuk tersenyum saja malas. Sudah berapa jam dia memutari pameran ini? Dari lantai ke lantai, dari satu karya ke karya lain. Gadis itu terheran-heran, bagaimana bisa dua kawannya yang lain masih begitu semangat mengambil gambar dan bercanda ria. Darimana semua energi itu mereka dapatkan? Sementara di sini lah dia, di sudut ruangan, ingin pulang dan tidur.


Oh, omong-omong, jangan terlalu cepat menyimpulkan. Sofé suka sekali dengan pameran seni. Bahkan dia lah yang paling semangat ketika mengetahui pameran seni favorit di kotanya akan dibuka selama satu bulan penuh. Gadis itu senang meneliti satu demi satu penjelasan karya yang ditempel di dinding, kemudian menginterpretasikannya dengan wujud atau tekstur si objek. Menakjubkan, sakral, dan kreatif. Lalu itu akan memberikannya inspirasi dan motivasi untuk terus berkarya dalam bidang yang ia tekuni. Pokoknya begitu, deh.


Meski demikian, Sofé tetaplah manusia biasa yang bisa lelah.


Gadis itu lalu melirik jam tangan. Pukul satu siang. Artinya sudah empat jam ia habiskan untuk menelaah seisi gedung.


Yah, tidak ada yang bisa menyalahkankannya kalau sekarang ia kelelahan dan jadi terlihat sama sekali tidak tertarik dengan seluruh lukisan yang mengelilinginya, kan?


Sofé mengerang lagi di kursinya. Menduga pasti orang-orang sudah sungguhan mengiranya kebosanan karena dengan tidak sopannya mengabaikan seluruh karya yang sudah capek-capek dipersiapkan. 


Diperhatikannya sekali lagi ruangan itu. Lukisan-lukisan yang ditempel di dinding, besar nan megah. Lalu orang-orang yang kesana-kemari, kamera di leher, berpose, tersenyum ke arah lensa. Oh, sungguh tipikal, pikirnya. kemudian


Gadis itu kemudian memejamkan mata ketika kepalanya semakin pening. Menyebalkan sekali rasanya saat dia sudah kelelahan tapi tak bisa langsung pulang ke rumah. Gadis itu menumpang selama perjalanannya ke sini. Artinya dia harus menunggu sampai kawannya yang ia tumpangi puas dengan hasil fotonya kemudian mengantarnya balik. Ide untuk pulang lebih dahulu dengan menyewa taksi atau bus sudah mengendap di kepalanya sejak tadi, sebenarnya. Namun Sofé ragu, merasa akan sedikit tidak sopan kalau ia lakukan itu. Lagipula, dia sedang berhemat.


Lalu dia berpikir, seandainya ia bisa menyetir, mungkin mobil butut kakaknya yang tak terpakai di rumah bisa ia perbaiki dan gunakan. Diam-diam dia menyumpah serapah, sebal karena masih belum diizinkan mengambil kursus mengemudi. Entah apa yang Ibu pikirkan. Sofé sudah dua puluh satu tahun, harus tunggu apalagi sampai—


"Hei? Kau baik-baik saja?"


—sampai sebuah suara menginterupsi.


Sofé spontan membuka mata, sedikit mengernyit saat kepalanya berdenyut. Gadis itu lalu mendapati seorang pemuda memberikan raut khawatir ke arahnya. "Ya, kenapa?" tanyanya balik.


"Kau terlihat kelelahan. Mau ku antar ke ruang kesehatan?"


Pemuda itu memakai kaus polos putih dengan luaran flanel kotak-kotak berwarna senada—dengan warna lebih gelap di beberapa bagian. Sementara di lehernya mengalungi kamera berlensa besar, dan memakai topi yang dibalik hadap di kepala. Pastilah salah satu pengunjung juga.


"Aku tidak tahu mereka punya ruang kesehatan di sini," balas Sofé. "Tapi kurasa tidak perlu, aku cuma istirahat sebentar. Mengistirahatkan kaki."


Si pemuda menunjuk ke arah belakang dengan ibu jari. "Letaknya di samping tangga. Tapi, oke, kalau kau tidak apa-apa."


"Ya..., terima kasih."


Pemuda itu mengangguk, namun sama sekali tidak terlihat akan beranjak pergi. Dia menatap Sofé dengan raut yang tidak bisa dijelaskan. Mungkin sedang perang batin untuk bertanya sesuatu, pikir Sofé. Yang ternyata benar karena setelahnya si pemuda bertanya, "Kau tidak keberatan jika aku diam di sini sebentar?"


Sofé kelelahan, tapi mengusir pemuda itu dengan mengatakan 'ya' terasa sangat tidak sopan. Jadi dia menggeleng, berusaha bersikap seramah mungkin. "Tidak keberatan, kok," jawabnya mempersilahkan.


Si pemuda mengangguk lagi, kemudian memperkenalkan diri sebagai Ryan. Seorang mahasiswa, berkunjung sendirian. Dari yang diberitahu oleh Ryan, sama seperti Sofé, pemuda itu juga rupanya rutin berkunjung ke pameran ini tiap tahun untuk memotret karya seni yang akan ia upload di blog pribadi. Hobi, katanya.


Mereka diam di posisi itu, berbincang-bincang. Semenit, dua menit, lalu bermenit-menit kemudian. Dari obrolan canggung sampai sedikit tidak canggung lagi, sampai akhirnya keduanya bisa sama-sama melempar guyonan.


Sofé harus mengakui bahwa berbicara dengan Ryan terasa lumayan menyenangkan. Yang sesungguhnya sangat aneh baginya. Mengingat bahwa gadis itu tidak pandai bergaul dan cepat lelah ketika bersosialisasi. Seorang introvert akut. Hingga kadang di sela-sela pembicaraan mereka, Sofé bertanya-tanya apa yang membuat obrolan dengan Ryan terasa berbeda.


Seperti... menemukan baju yang cocok di badanmu setelah berkali-kali mencoba. Sofé berjengit ketika memikirkan deskripsi itu. Tapi pokoknya, begitu lah.


"Aku tadi hampir tidak menotismu, kau tahu? Kukira kau salah satu objek karya," kata Ryan, menyinggungkan senyum lebar. "Hampir saja kupotret, tapi siapa yang sangka ternyata itu manusia yang nyaris tewas kelelahan?"


"Kalau benar, pasti karyanya jelek sekali sampai harus diletakkan di sudut ruangan, ya," balas Sofé.


"Well, tidak bisa kukatakan begitu, sih."


Sofé mendengus geli, raut lelah di wajahnya sebagian besar telah lenyap. "Jadi selain fotografi, hobimu juga menggoda wanita yang baru kau kenal. Begitu?"


"Wow, stop di sana, nona." Ryan berkacak pinggang sebelah tangan. "Kuharap kau tidak tersinggung, tapi selain senang pameran seni, kau ini juga senang besar kepala, ya?"


Keduanya terkekeh bersamaan.


"Omong-omong, temanmu dimana?" tanya Ryan.


Oh, ya. Ajaib sekali. Sofé sampai lupa ia datang kemari bersama dua orang teman. Gadis itu memutarkan pandangannya ke sekitar. "Entahlah," jawabnya acuh. "Terakhir kali aku lihat, mereka di sana, sedang berfoto."


Ryan mengikuti arah pandang Sofé, ke arah sebuah lukisan abstrak dengan dominan warna merah, biru toska, dan emas yang dicipratkan sembarangan. Sangat megah bahkan ketika dilihat dari ujung ruangan. "Lukisan yang menarik, memang."


Sofé hanya mengangguk. Dia sendiri lupa lukisan itu diberi judul apa, tapi saat pertama kali melihatnya, Sofé harus mengakui bahwa lukisan itu langsung menarik seluruh hati dan pikirannya. Seperti menyedotnya masuk ke dalam lembaran kosong. Seperti berbicara, 'Lihatlah aku baik-baik, rasai aku, dan beritahu bagaimana rasanya mendalamiku.'


"Tapi sayang sekali, kau tahu," lanjut Ryan, membuyarkan lamunan Sofé. "Pernahkan kau sadar, bahwa orang-orang di sini, tidak benar-benar memperhatikan dan mengkritisi karya yang dipamerkan?"


"Pernah, selalu."


Ryan menoleh, mengangkat sebelah alis. "Aku tidak menyangka kau memperhatikan. Kukira, kau adalah tipe yang sama seperti mereka."


"Tidak juga, kok."


"Kukira kau tidak hanya kelelahan. Kukira kau juga bosan. Maksudku—yah, begitu lah. Semoga kau tidak tersinggung."


Kan? Seperti dugaan Sofé, semua orang benar-benar mengiranya sedang kebosanan.


Sofé tersenyum, sudah maklum. "Aku tidak tahu apakah ini penting bagimu untuk tahu, tapi aku sama sekali tidak berfoto membelakangi karya manapun di pameran ini. Sebaliknya, aku memotret mereka. Well—meskipun hanya lewat ponsel. Tapi kurasa itu sudah lebih dari cukup. Intinya, aku juga memikirkan hal yang sama seperti yang kau pikirkan. Dan—tidak, aku tidak bosan. Aku hanya kelelahan."


"Senang untuk tahu," kata Ryan, suaranya terdengar tulus.


Gadis itu mengedikkan bahu. Memperhatikan sekitar, dimana benar kata Ryan, orang-orang tersebut tidak terlalu memperhatikan. Mereka hanya berpose di depan lukisan, hanya menjadikannya latar belakang yang apik. Lalu setelah puas, mereka berpindah ke lukisan lain dan pulang dengan kepala kosong.


"Seperti tidak menghargai, bukan?" tanya si pemuda lagi. "Bagaimana menurutmu?"


"Ya." Sofé menghela napas berat. "Menurutku, lukisan-lukisan ini... lebih dari itu. Mereka punya esensi yang lebih dalam dibandingkan hanya sekadar coretan di atas kanvas. Begitu pula dengan karya yang lain. Semuanya dibuat dengan sejuta makna. Memperlakukannya secara sepele seperti itu tanpa memperhatikan benar-benar bagaimana tiap komposisinya disusun hingga menciptakan suatu makna berarti adalah perbuatan yang sangat tidak bijaksana. Setidaknya bagiku. Sangat disayangkan. Pencipta mereka bisa saja sedih melihat fenomena ini—tidak tahu, sih. Tapi jika aku jadi si penciptanya, aku akan merasa begitu." Gadis itu memberi jeda sejenak, dan ketika ia menoleh ke arah Ryan, pemuda itu hanya menatapnya diam. Menyimak dengan baik.


"Itu bukan cara yang tepat untuk mengapresiasi karya, kau tahu. Orang-orang ini memotret dirinya, menghalangi pemandangan yang sesungguhnya. Mereka lupa, bukan mereka lah yang dipamerkan di sini," lanjut Sofé. "Mereka hanya penikmat yang menikmati dengan cara yang tidak benar."


Selesai bicara begitu, Sofé masih bisa melihat Ryan bergeming di tempatnya. Namun ketika gadis itu hendak melanjutkan lebih detil, Ryan telah berpindah berdiri ke depannya sejauh lima langkah, mengangkat kamera dan meletakkan matanya di balik lensa. Sofé yang bingung segera bertanya, "Ryan, apa yang sedang kau lakukan, tepatnya?"


"Memotretmu?" jawab Ryan.


Gadis itu semakin mengeryit, tidak tahu harus merasa tersanjung atau justru kesal. Ada-ada saja pemuda ini, pikirnya. Karena secara harfiah, mereka berdua sedang dikelilingi oleh mahakarya-mahakarya mengagumkan dari seluruh pelosok negeri, tapi Ryan justru memilih untuk memotretnya. "Dan kenapa itu? Aku, kan, bukan salah satu karya pameran?"


"Kau iya," bantah Ryan, dengan nada bergurau, tapi di saat bersamaan sangat serius. "Maaf kalau aku terdengar agak aneh, tapi kalau boleh jujur. Kau terlihat seperti sebuah mahakarya yang punya makna lebih dalam daripada yang terlihat di permukaan. Kau berbicara."


Sofé masih menatapnya tidak paham, menunggu pemuda itu melanjutkan.


"Kuberi kau nama...."


Ryan memperhatikan hasil potretnya sejenak.


"Perempuan yang Sedang Bosan."



Comments

  1. OHHHH INI YANG DIALOGNYA LU TANYAIN DULU. KOK LU GA BILANG SIH KALO UDAH DIPUBLISH. BAGUS BANGET BANGSAT. LUCU BANGET. MAU MARAH.

    ReplyDelete
    Replies
    1. ENGGAK, AH? Tulisan gue belum pantes diapreasiasi pake capslock, tapi MAKASIH UDAH BACA, MATE

      Delete

Post a Comment

Popular Posts