What's A Timberman Want With Being A Wickie
Terinspirasi dari The Lighthouse (2019) dan kisah nyata di Eilean Mor, Skotlandia pada Desember 1900.
—A collaboration by Heavenly Spring & Galima Grace—
“Di mana kita?”
Napasnya terengah, tatapannya sedikit terhalang deru
gerimis sementara ia merasakan air mulai memenuhi telinga. Pemuda tersebut
memandang gadis di hadapannya sebentar, kemudian mencoba memutar kepala untuk
mengobservasi sekitar. Mereka ada di dermaga kecil—tapi terlalu kecil sampai ia
ragu apakah dermaga adalah sebutan yang tepat. Dari ukurannya jelas hanya
diperuntukkan bagi kapal-kapal nelayan atau boat pariwisata, dan mungkin
hanya cukup buat satu kapal patroli.
“Amy?” panggil sang pemuda. Kini dengan nada ragu-ragu
karena Amy kelihatannya terlalu sibuk berusaha mengikat kapal yang
terombang-ambing pecahan ombak.
Tak ada jawaban.
Ia yakin tak bakal dapat jawaban. Lagipula ia tak pandai
dalam urusan tali-temali—apalagi ilmu melaut. Terlebih lagi, sensasi berputar
yang ia asumsikan sebagai mabuk laut membuatnya tidak ingin bergerak banyak.
Akhirnya pemuda itu tetap diam, memilih untuk menatap tebing dan dataran tinggi
yang menjulang di hadapannya. Mereka cukup tinggi hingga ia harus mengangkat
sebelah tangan demi melindungi pandangan dari butir-butir tangisan awan.
Hujan semakin deras ketika gadis itu menoleh. “Ayo turun,”
ujarnya lugas, dengan suara diperkeras agar rungu kawannya bisa menangkap.
Sejenak pemuda itu dibuat sadar barangkali Amy tak menjawab karena tak bisa
mendengar ucapannya tadi.
“Kita ada di mana?” Pertanyaan yang sama terlontar dari
mulut sang pemuda ketika mereka sudah menginjak daratan, kali ini ia menaikkan
volume suara.
“Eilean Mor.”
Jawaban itu sama sekali tak membantu. Si pemuda buta geografi
Skotlandia, tak tahu arah mata angin, sepanjang hidupnya menghabiskan waktu di
pedesaan York, bagaimana ia bisa mengenali di mana tepatnya pulau kecil bernama
Eilean Mor?
“Kafka? Telingamu tidak kemasukan air, ‘kan?”
Baru tersadar ia tengah memasang ekspresi bingung, Kafka
menggeleng. “K-kurasa, aku ... cuma shock. Dan mual—sudah pasti.”
Meski sedikit buram, Kafka bisa melihat tatapan khawatir
dan rasa bersalah di mata Amy. Atau itu hanyalah salah satu efek shock-nya
saja. Siapa yang tahu?
Lagipula sedang hujan deras di sini. Butiran air dan buih
ombak yang menderu-deru membuat pandangan terjelas mereka tidak lebih dari
beberapa ratus meter. Dan yang paling penting, Kafka kenal Amy. Memori masa
kecil yang mereka habiskan bersama memberitahu Kafka kalau Amy tidak semudah
itu berempati. Namun tentu menjadi sebuah pengecualian pada beberapa waktu dan
kondisi, kan? Misalnya seperti sekarang, ketika mereka 'terdampar' di pulau—apa
tadi namanya? Eleanor?
"Kenapa kita ke sini?"
Lagi-lagi Amy tidak menggubrisnya.
"Amy? Kau yakin ini—"
"Oh, Kafka, lihat aku." Amy berbalik menghadap
pemuda itu. "Tarik napas dalam-dalam dan cobalah untuk fokus,"
ujarnya. "Bisakah kau lakukan itu?"
"Apa?"
"Tutup mulutmu dan coba untuk fokus."
Kafka menggeleng menatap tak percaya punggung Amy yang
kembali berjalan menjauhi bibir pantai. "Badai! Ya Tuhan, Amy! Ada badai
di pengalaman pertamaku berlaut. Dan kau berharap aku bisa langsung terbiasa?
Kau psikopat!"
"Simpan itu nanti. Sekarang bantu aku. Satukan
pikiranmu dan cepat segera pergi dari sini—atau kita berdua akan dilahap
ombak!"
Yep, bayangan Amy berempati padanya sudah pasti sebagian
dari rasa terkejut. Oh, sudahlah.
"Maaf, kau benar," kata Kafka walaupun sangat
yakin Amy tak bisa mendengarnya. Sekarang mereka harus segera menjauh karena
ombak di belakangnya semakin menjadi-jadi. "Oke, fokus. Kurasa—ya,
tentu—tapi butiran air yang masuk ke hidungku membuatku makin panik!"
Amy merasa Kafka hanya membuang-buang waktu. Lima detik
yang ia gunakan untuk menenangkan rasa panik Kafka hanya akan berakibat nahas.
Tanpa basa-basi, ia segera menyambar lengan lelaki itu, memaksanya mengikuti
untaian langkah kaki menuju undakan batu—terus ke atas tebing. Agak sedikit
tersendat karena Kafka masih terlalu lamban untuk mencerna keadaan hingga
membuatnya terpeleset berkali-kali.
"Kenapa kita ke sini?" ulang Kafka setelah
nyaris dua puluh anak tangga terlewati. "Bukannya kita mau ke—Haiti?"
"Hirta, Bodoh. Omong-omong perhatikan langkahmu."
Amy mempererat genggaman tangannya, seolah menembus kain kemeja Kafka yang
basah kuyup. "Dengar, badainya terlalu kuat, barangkali kita tak akan
sampai Hirta dengan selamat. Kau bisa lihat di bawah sana ombak mulai pasang.
Kita tidak boleh terus-terusan berada di air."
Rahang Kafka mengeras. Memang, orang bodoh sekalipun tak
akan berani berlayar di cuaca semacam ini. Dan setiap orang pintar pasti akan
memperhitungkan perkiraan cuaca sebelum benar-benar pergi melaut. Dalam
kasusnya, Kafka adalah si orang bodoh, sementara Amy seharusnya merupakan si
orang pintar yang berpengalaman dengan laut sepanjang lima tahun belakangan.
Tapi ia tak bisa menyalahkan gadis itu. Badai terkadang datang terlalu
tiba-tiba.
"Apa yang akan kita lakukan setelah ini?" Kafka
benci bertanya terus-menerus, namun ia juga tak suka situasi membingungkan yang
hanya bisa membuatnya melongo.
Di depannya, Amy tak menoleh, fokus pada undakan curam yang
sesekali berbelok tajam—menyisir sisi tebing batu. "Kita ke mercusuar. Kau
tidak mau berdiri terus-menerus di bawah hujan deras begini, bukan?"
"Well," balas Kafka seraya mengedikkan
bahu. "Aku akan mengikutimu ke mana pun, asalkan ke mana pun itu
aman."
"Untuk kali ini, tolong jangan terlalu berharap."
Kafka melotot, sebentar saja karena kurang dari sedetik
kemudian air hujan menerjam matanya. "Apa maksudnya itu?"
Seperti yang sudah diduga, Amy lagi-lagi tidak
menjawab—malah menyuruh Kafka menggerakkan kakinya dengan benar dan mempercepat
langkah. Gadis itu terlalu fokus berjalan dan menarik tangan Kafka sampai
rasanya akan copot. Melihat itu, Kafka memutuskan diam—tidak ada pertanyaan
lagi yang terlontar. Memilih untuk memusatkan perhatiannya secara penuh sesuai
yang diperintahkan Amy. Dan memang harusnya begitu. Bagaimanapun juga, tentu
Amy ingin mereka berdua selamat.
Beberapa saat kemudian, setelah banyaknya undakan yang
terasa seperti ribuan. Akhirnya sampailah mereka ke tanah berumput—dengan
mercusuar yang terletak beberapa puluh meter dari sana. "Berdoalah itu
tidak terkunci," bisik Amy.
"Amen."
Penampakan luar mercusuar itu tampak sangat tidak terawat.
Dengan dinding terkelupas parah, lumpur di sana-sini, dan pintu kayunya yang
berlumut. Kafka memang tidak tahu menahu tentang laut dan berlayar, tidak
sekalipun juga terlintas di benaknya untuk menjadi seorang pelaut atau nelayan.
Tapi untuk mengartikan kalau sebuah mercusuar tidak berfungsi lagi dari
lampunya yang mati adalah hal amatir—semua orang bisa tahu. "Kau yakin hal
ini, Amy?" tanya Kafka.
"Badai seperti ini tidak akan selesai dengan cepat.
Kita tidak punya opsi lain." Gadis itu lalu beralih ke arah pintu.
Terdengar bunyi 'klek' kecil dan Amy kembali meraih tangan Kafka.
"Pintunya tidak terkunci. Ayo."
Sesaat setelah memasuki mercusuar, mereka langsung disambut
oleh bau jamur yang sangat menyengat. Ruangan di dalamnya tidak terlalu besar.
Hanya ada satu petak tanpa sekat. Lembap dan pengap. Amy dan Kafka—yang
napasnya masih terengah—segera melepaskan mantel mereka sambil mengobservasi
sekitar.
Dinding ruangan itu tidak dicat. Atapnya sedikit rendah,
hanya cukup untuk seorang pria dengan tinggi maksimal dua meter. Ada perapian
kecil dengan bekas kayu ditumbuhi jamur. Lalu tempat tidur di sebelah kanan,
dapur serta meja makan di sebelah kiri, dan beberapa meja lainnya di
sudut—mungkin tempat untuk bekerja atau meletakkan berkas dan perkakas.
Tidak ada tanda-tanda terbaru bahwa mercusuar ini
berpenghuni. Semuanya sudah sangat berdebu dan bau.
Meskipun begitu, seluruh perabotannya lengkap, tidak pernah
digerakkan sesenti pun jika dilihat dari jejak debunya yang sama rata tebalnya.
Kafka bahkan menemukan seonggok roti penuh jamur yang tergigit di atas meja
makan—diletakkan separuh keluar dari piring, seolah dilempar asal. Kursi meja
makan juga terletak menghadap diagonal yang terlalu miring. Sudah pasti ada
sesuatu yang sangat genting hingga membuat pelakunya terburu-buru pergi.
"Aneh," gumam Amy seraya mendekati meja di ujung.
"Tempat ini terlihat seperti ditinggalkan begitu saja—eh, sepertinya memang."
"Apa kau pernah ke sini sebelumnya?" tanya Kafka.
Gadis itu menggeleng, membuat beberapa butir air jatuh
bebas dari rambutnya. "Baru pertama kalinya. Lagipula untuk apa? Tidak ada
yang menarik di pulau ini."
"Melihat fakta bahwa kau sedang membawaku ke pulau
Hyarta—"
"Hirta." Amy mengerang. "Idiot."
"Ya, itu. Kau sedang membawaku ke pulau Hirta—well,
tadinya. Jadi tidak menutup kemungkinan kau telah berlayar ke sini juga,
kan?"
"Bisa jadi. Tapi kalaupun aku mau, orang tuaku jelas
tidak akan memperbolehkan," timpal Amy.
Kafka spontan menaikkan sebelah alis. "Kenapa
begitu?"
Selama beberapa detik, Kafka menunggu gadis itu memberikan
respon. Tapi nampaknya Amy sudah lebih dulu teralihkan. Dia mulai mengecek
buku-buku dan berkas yang ada di meja. Yang entah milik siapa itu. Kafka ingin
mengingatkan Amy bahwa gadis tersebut masih basah kuyup, sehingga ada baiknya
untuk tidak memegang kertas sebelum kondisinya cukup kering.
Tapi saat Kafka hendak melakukannya, gerakan tangan Amy
berubah semakin cepat. Membuka buku satu, meletakkannya asal, lalu meraih buku
lainnya. Hal yang sama dilakukannya juga dengan lembar-lembar jurnal.
"Amy? Kau oke?" panggil Kafka.
Orang yang namanya disebutkan itu menoleh, memberikan raut
keheranan. Lantas tangannya menyodorkan beberapa lembar jurnal usang kepada
Kafka. "Lihat," kata Amy, yang hebatnya masih bisa mengontrol
suaranya agar tetap tenang. "Desember, tahun 1900."
"Maksudmu—"
"Jurnalnya berakhir tepat empat puluh dua tahun
lalu." Amy terdiam, memperhatikan lembaran tersebut sebelum menggerakkan
matanya ke sekeliling ruangan. "Ini tidak asing bagiku."
"Tunggu—apa? Apa maksudmu tidak asing?"
"Maksudku, lihatlah. Mercusuar terbengkalai. Roti,
kursi, tinta yang tutupnya masih terbuka—" Dia menunjuk sebuah tempat
tinta yang sudah kering. "—ditinggalkan begitu saja dengan
buru-buru."
Kafka memandangnya bingung. Dalam hati dia lelah karena
berekspresi seperti idiot terlalu sering. Tapi bukan salah pemuda itu jika
situasi ini terlalu membingungkan untuknya. "Mungkin karena hal genting?
Siapa tau ada kapal menabrak karang, atau err—sesuatu?" Pemuda itu menautkan
alis. "Kenapa kau pucat sekali, omong-omong?"
Amy memutar bola matanya. "Kita baru diterjang badai
beberapa menit lalu dan basah kuyup. Ya Tuhan. Tidak bisa, ya, kau semenit saja
tidak sebodoh itu?"
"Oke, maaf," ucap Kafka, sama sekali tidak
bernada menyesal. Justru kesal. "Tapi kenapa kau tiba-tiba serius tentang
jurnal itu? Kau terlihat… takut—dan kau mulai menakutiku juga."
"Tidak cuma jurnalnya. Lihat," kata Amy lagi,
kini berjalan menuju pintu. Tepatnya menuju gantungan baju yang tertempel di
permukaannya. Di mana terdapat sebuah mantel usang dan kaku tergantung. Kafka
tidak memperhatikan itu sebelumnya. "Desember. Dan mereka keluar tanpa
menggunakan mantel. Orang waras macam apa yang tidak memerlukan mantel di
puncak musim dingin?"
"Mungkin karena dia pakai mantel lain?"
"Mantel ini digantung, artinya sudah pasti yang sedang
dia pakai saat itu adalah yang ini. Lagipula tidak ada lemari pakaian. Yang
artinya lagi, mereka cukup punya satu untuk sepanjang musim dingin."
Kafka mengangkat kedua telapak tangannya. "Oke, tapi
sekarang coba jawab aku. Kenapa kita membicarakan ini, Amy?"
"Aku tahu ini gila, tapi bagaimana kalau sebenarnya
mereka memang tidak pernah keluar dari sini?" Perlahan tapi pasti, Kafka
bisa melihat ada sedikit kengerian di wajah Amy. Meski begitu suaranya tetap
stabil ketika melanjutkan. "Mereka bisa menutup pintu tapi tidak dengan
mengambil mantel. Jelas tidak masuk akal."
"Angin."
"Tidak," bantah Amy cepat. "Mata pengait
pintunya sangat keras. Jadi untuk bisa tertutup sepenuhnya, kau harus memutar
gagangnya dengan benar."
"Darimana kau tahu itu?"
"Memang harus begitu—kehidupan di mercusuar. Agar
pintunya tidak mudah terbuka ketika ada badai. Coba saja sendiri."
"Hei," panggil Kafka sekali lagi, mulai
kehilangan kesabaran. Pembicaraan ini jelas membuatnya tidak nyaman. Kafka
mengenal Amy. Amy yang tenang dan pemberani. Tidak terlalu seperti Kafka.
Tapi sekarang gadis si pemberani itu menunjukkan kengerian. Dan mau tidak mau
kengerian tersebut menular pada Kafka, bahkan lebih besar dari milik Amy sendiri.
"Kenapa kita membicarakan ini, Amy?"
Angin bertiup kencang menghentak-hentak jendela, serbuan
air hujan ditambah sahutan petir menimbulkan suara mengganggu di telinga selama
kedua manusia itu diselimuti keheningan. Kafka mulai merasakan giginya bergemeletuk.
Ia tak suka diabaikan—terlebih oleh Amy. Diamnya gadis itu selalu membuatnya
merasa bodoh. Seakan ada beribu rahasia yang disembunyikan, yang Amy tak mau
Kafka mengetahuinya.
Yeah, fine, pikir
Kafka. Biar kali ini ia balas mengabaikan Amy yang berdiri mematung di hadapan
lembar-lembar terbuka dari buku yang gadis itu acak-acak. Kafka menggigil dan
buku mana pun tak mungkin bisa menghangatkan tubuhnya. Sang pemuda beringsut,
air menetes dari kemeja, celana linen, dan sepatu boots yang ia
kenakan—membasahi lantai ruangan yang ia putari demi mencari korek api.
"Tak perlu. Aku bawa pemantik."
Menoleh, pemuda tersebut mendapati Amy sudah berjalan ke
arah perapian, dengan pemantik kecil di tangan kanan dan sebuah buku di tangan
kiri.
"Kau tak akan membakar buku itu, bukan?"
"Menurutmu?" tanya Amy balik. Ia berjongkok,
menyobek beberapa kertas lalu menyalakan pemantiknya. "Aku tak punya
cokelat panas. Tepatnya, mereka yang tidak punya. Kuharap ini
cukup."
"Kau tahu, ibumu akan marah jika melihatmu sekarang,"
ujar Kafka seraya berjalan mendekat. "Kau tidak seharusnya membakar
buku—terlebih milik orang lain."
"Aku bukan kau, Kafka. Aku tak peduli soal
buku-buku—terlebih milik orang yang kemungkinan besar sudah mati."
"Bagaimana kau yakin pemiliknya sudah mati?"
Ada keheningan mencekam. Mereka berada sangat dekat dengan
perapian hingga suara percikan api terdengar lebih keras daripada dentuman
hujan, atau hentakan angin, atau guntur yang menyalak, atau debur ombak yang
kini cuma terdengar sesekali di kejauhan. Pertanyaan itu terpeleset dari lidah
Kafka, ia tak mengharapkan jawaban apa pun. Namun ketika pandangannya
berserobok dengan manik kebiruan Amy, sang pemuda tahu mereka tak seharusnya
bercanda soal kematian.
"Mau dengar cerita?"
"Oh, jadi sekarang kau mencoba menenangkanku?"
Amy menghela napas. Tampaknya percakapan ini tidak lebih
dari sekadar lelucon belaka bagi pemuda itu. "Aku sama sekali tidak
menjamin cerita yang satu ini akan membuatmu tenang satu hela napas pun."
Kafka menelan ludah. "Oke," katanya kemudian.
"Jika kau memaksa."
"Ini adalah alasan mengapa orang tuaku tidak
memperbolehkanku datang ke pulau ini. Juga yang membuat semua orang di pulau
Lewis—tempatku tinggal sekarang—tidak pernah mendekatinya. Sebuah cerita yang selalu dibisikkan kepada setiap anak yang terlahir mengikuti jejak orang tuanya—pun bagiku yang belum lama menetap. Sesuatu yang tidak asing lagi bagi kami, Kafka, seperti yang kubilang sebelumnya."
Terdapat jeda sejenak dibarengi dengan kilat sebelum gadis
itu melanjutkan.
"Dulu, ada tiga orang penjaga di mercusuar ini."
Kalimat Amy terpotong oleh napasnya yang tercekat. Gadis itu butuh beberapa
detik untuk bernapas normal kembali, bagai diliputi keragu-raguan, sampai
kemudian melanjutkan ucapannya. "Mereka bertugas sejak akhir tahun
1890-an. Aku tak tahu tepatnya, mungkin juga sebelum itu. Tapi biasanya penjaga
mercusuar dipindahtugaskan setiap beberapa tahun."
Keduanya sama-sama mengulurkan tangan lebih dekat ke arah
kayu dan buku yang terbakar. Amy menatap api yang sedikit-sedikit membesar lalu
mengecil lagi. Sementara atensi Kafka masih melekat pada Amy.
"Lalu?"
Amy melirik kawannya sekilas, lalu menelan ludah.
"Lalu, pada Desember 1900, sehari setelah natal, jadwal pergantian penjaga
datang."
"Ada satu kapal kecil mendarat di Eilean Mor, isinya
beberapa awak, penjaga mercusuar yang baru, dan atasan mereka. Tapi tak ada
yang datang menyambut. Dermaga kosong. Si atasan membunyikan tuba namun tak
dapat jawaban."
Kilat besar menyambar, memberi penerangan pada ruangan
gelap itu selama dua detik, lantas diikuti bunyi gemuruh. Amy tak pernah takut
pada petir, akan tetapi sarafnya kali ini menegang sedikit. Ia sempatkan
menilik Kafka sebentar, kini berwajah kaku dengan keseriusan di manik hijaunya.
Menatap matanya serasa menemukan sebongkah batu di danau berlumut—tenggelam,
mengeras di kedalaman air yang dingin.
"Mereka segera menghampiri mercusuar," lanjut
Amy, setengah berbisik, seakan tak ingin ada yang mendengar obrolan mereka.
"Ketika mereka sampai, tak ada orang di sana. Tiga penjaga itu lenyap
begitu saja, meninggalkan mercusuar kosong tak terkunci."
"Tidak ditemukan?"
Amy menggeleng. "Tidak pernah ditemukan."
"T-tapi … itu artinya—"
"Ya, Kafka." Kengerian di wajah pemuda itu
terpantul pada sepasang netra Amy, berbaur dengan rona api yang
menyulut-nyulut. "Mereka hilang di sini."
"B-bukan begitu...."
Ekspresi dingin Amy mendadak tergantikan oleh kerutan dahi.
Ia merasakan rasa cemas menguar dari Kafka, namun bukan kecemasan yang biasa
lelaki itu tunjukkan padanya. Bukan kecemasan saat awan mendung tiba-tiba
berarak mengepung mereka sekitar satu jam lalu, bukan kecemasan saat harus
mendaki undakan menuju mercusuar tak berpenghuni, bukan juga kecemasan saat Amy
hendak memulai ceritanya.
Kafka tengah memikirkan hal lain.
"Apa maksudmu, Kafka?"
Pemuda itu mengulum bibir, gugup. Tangannya memijat jari
jemari satu sama lainnya—bukan untuk menghangatkan, tapi guna menghilangkan
gemetar (walau sebenarnya sia-sia). Lantas ditatapnya Amy dalam-dalam, seraya perlahan
beringsut mendekat. "Bukannya itu artinya—Amy... Apa... Apakah mereka
masih di sini?"
Kafka merasakan sesuatu yang dingin merambat naik dari
tulang punggungnya saat mata besar nan indah milik Amy menatapnya lekat.
"Maafkan aku. Tapi sayangnya…, itulah yang kutakutkan," kata Amy
kemudian, yang langsung membuat Kafka semakin yakin akan perasaan buruknya.
Barangkali Amy mulai berhalusinasi, gadis itu melihat
bayangan dirinya dan Kafka ikut membesar bersama api di tungku yang seolah
hendak melahap mereka. Gemuruh datang bersahut-sahutan di antara derasnya
badai. Dan Kafka masih terlihat sedang mencerna semua kemungkinan atas apa yang
sudah terjadi—atau mungkin justru berusaha membantahnya.
Kedua orang tersebut saling tatap menatap ketika tiba-tiba
terdengar suara keras.
Dengan cepat keduanya menoleh, mendapati satu-satunya pintu
di ruangan itu terbuka lebar, menyilakan serbuan angin bercampur titik-titik
air hujan masuk hingga memadamkan perapian.
"A-angin? Tidak—seharusnya pintu itu cukup kuat—tidak
mungkin angin bisa membukanya semudah itu."
Di tengah keterkejutan, Kafka seketika berdiri—beralih
menghampiri pintu berat dari kayu ek tersebut. Langkahnya sedikit gontai,
terlihat jelas tubuhnya gemetar. "Apa yang kau lakukan?" tanya Amy,
bersiap untuk ikut berdiri.
"Tetap di sana, Amy." Kafka melindungi kepalanya
dari serangan angin, mengulurkan tangan satunya untuk meraih gagang pintu.
"Aku cuma mau menutup pintu i—"
"Kafka?"
Kafka tak menjawab, membiarkan kalimatnya berhenti di
tengah jalan. Di belakangnya, Amy menatap sosok lelaki itu, mematung di tengah
hembusan badai dengan atensi terpaku ke luar—ke arah laut di kejauhan.
"Hei," ujar Kafka akhirnya, dengan suara
tercekat. "Amy, perasaanku saja atau—apakah laut memang berwarna
se-abu-abu ini?"
Comments
Post a Comment