Vante

“Kamu melewatkan ulang tahunku,” katanya tiba-tiba, tanpa ucapan sapaan lebih dulu—barangkali karena terlalu canggung. “Kamu melewatkannya dua kali.”


Untuk pertama kalinya aku bisa bernapas lega; lelaki itu belum banyak berubah, setidaknya dari bicaranya yang masih susah ditebak dan tiba-tiba. Meski begitu, aku ternyata juga sama canggungnya walaupun berhasil kuakali dengan balas tertawa kecil. “Maaf,” kubilang, “dan selamat ulang tahun.”


“Tidak apa-apa. Kamu tahu aku tidak peduli ulang tahun.”


“Dasar.” Aku menggeleng kepala. “Tapi serius, maaf, ya. It’s been so long time. Apa kabar?”


Selama beberapa detik, yang dilakukan lelaki itu hanya menatap. Tidak tersenyum, justru memberikan ekspresi seolah-olah sedang menelaah mencari apa saja yang berbeda dari penampilanku. Lalu terheran-heran mengapa rambutku lebih kasar, mataku lebih lelah, dan tulang pipiku lebih menonjol. Kubiarkan dia lakukan itu tanpa niatan untuk menghindar, toh aku tidak perlu malu karena sudah mengenalnya lama sekali.


“Baik,” jawabnya beberapa saat kemudian. “Aku baik, tapi kamu kelihatan macam wanita karir sungguhan. Sudah makan?”


Kujawab belum, tanpa membiarkannya tahu bahwa aku melakukan hal yang sama pada penampilannya: menelaah mana saja yang telah berubah. Meski pada akhirnya kusadari lelaki itu tidak berubah terlalu banyak, kecuali rambutnya yang diubah hitam dan lebih panjang daripada saat terakhir kali kami bertemu. Sisanya tidak banyak berbeda, dia masih punya wajah yang apik dan berpakaian dengan sangat baik. 


“Kamu baik, oke, bisa kupercaya. Memangnya sudah kemana saja setelah cuti?” 


“Aku hanya diam di rumah, kebanyakan,” jawabnya, mengibas pelan rambutnya ke arah kanan agar tidak mengganggu pandangan. “Melakukan banyak hobi. Makan ini itu. Pergi ke kafe-kafe, ke museum-museum. Kadang hanya tidur dan melamun.”


Beberapa gaung bergema dari lonceng seberang jalan—tanda seperempat pagi telah terlewat ketika aku tertawa menanggapi. “Bagus. Hal-hal kecil seperti itu kadang memang bisa lebih manjur membuat bahagia.”


“Aku bahagia. Tapi bukan artinya aku bisa selamanya tidak punya kerjaan.”


“Kalau begitu nikmati sebanyak-banyaknya selama kamu cuti. Banyak lah makan, tidur dan melamun.” Kutunjuk pipinya. “Kita sudah tidak bertemu sangat lama, tapi kamu tidak terlihat bertambah gendut sama sekali. Kamu tahu?”


Dia mengedikkan bahu, cemberut. “Bukan salahku. Ibuku juga mengeluh hal yang sama. Tapi sedang kuusahakan, sih. Aku jadi lebih banyak makan dan tidur.”


“Dan melamun,” tambahku.


Lelaki itu mengangguk sambil tersenyum kecil. “Ya, dan melamun.”


Kemudian—aku tidak tahu siapa yang memulai, tapi tahu-tahu kami sudah berjalan beriringan. Meninggalkan persimpangan jalan di tengah kota tempat kami janji bertemu dan berjalan tanpa tujuan ke utara. Melewati blok panjang yang dipenuhi gerai-gerai dan warung dengan meja luar yang dipenuhi pelanggan, seluruhnya menikmati sarapan di bawah cuaca musim semi yang hangat. 


Bising antara obrolan pagi hari dan segala benturan perabotan saling sahut-menyahut, sementara kami terus berjalan, menatap satu sama lain sambil saling melempar kabar yang sudah lama hilang. Dia bertanya aku sedang sibuk apa, dan hanya diam mendengarkanku bicara tentang bagaimana susahnya mencari ide membuat desain kalender, tas eco-green, cover buku, bahkan sampai hal kecil semacam selotip dan stiker . Tapi kulihat dia pun sama bersyukurnya ketika kubilang meski menguras ide dan waktu tidur, pekerjaanku bisa dibilang sangat menyenangkan.


Selanjutnya dia melantur, berbicara tentang kemampuan memasaknya yang tidak pernah meningkat dan bagaimana liburan ini membuat punggungnya kaku karena terlalu banyak tidur, jadi dia mulai rutin melakukan pemanasan ringan di taman sebelum beraktivitas harian. Hanya untuk menemukan dirinya tertidur di kursi kayu karena bangun terlalu pagi.


Selama liburan dia juga membaca banyak sekali novel; yang klasik, penuh fantasi, misteri, dan lainnya. Namun dia mengaku lebih banyak membaca bacaan motivasi, barangkali efek akibat terlalu banyak melamun. “Seperti....” Dia berpikir sebentar, memanyunkan bibir. Satu lagi kebiasannya yang belum berubah. “Kamu tahu buku Aku Senang Kamu Hidup Seperti BonoBono?”


Balik aku yang mengernyit sebentar, lalu menggeleng. “Aneh sekali namanya, BonoBono—tentang apa?”


“Tidak aneh karena dia cuma beruang warna biru. Beruang biru cocok diberi nama BonoBono,” cetusnya sambil tertawa kecil. 


Aku memutar bola mata.


“Hmm..., bagaimana, ya, menjelaskannya.” Dia berdeham. “Itu komik, sih.” Lalu lelaki itu menjelaskan bagaimana buku itu bercerita tentang orang-orang yang tidak punya mimpi; yang lebih senang kenyamanan daripada kesenangan, yang bahagia hanya dengan hal-hal kecil, yang tidak terbawa arus terlalu kencang dan tetap tenang. 


Aku masih diam menyimak ketika tangannya mendorong pelan sebelah bahuku, menuntunku untuk berbelok ke sebuah persimpangan jalan lainnya. 


“Mereka itu seperti BonoBono, bukan tipe yang energetik dan cerah seperti orang lainnya. Aneh, ya? Tidak punya mimpi? Tapi nyatanya mereka tetap hidup dan menikmatinya,” lanjutnya lagi, seraya merapikan beberapa helai rambutnya yang terbawa angin pagi. “Ketika selesai kubaca, aku berpikir sepertinya aku sedikit salah menanggapi hidup.”


Pada saat dia selesai, atensiku kembali ke arahnya dan menemukan lelaki itu telah berhenti melangkah di depan sebuah toko buku kuno yang cat dindingnya sudah mengelupas di banyak bagian. Dari sini aku bisa melihat kedua matanya berbinar jernih, seolah ada sesuatu dalam dirinya yang telah lama ia cari dan akhirnya ditemukan—atau mungkin memang begitu kenyataannya.


“Dan kamu benar ternyata,” tuturnya, dengan ekspresi yang entah bagaimana terlihat menyejukkan, sementara aku malah menatapnya bingung.


“Bagian mana?”


“Sebagian besarnya.”


“Soal nama beruangnya?”


“Bukan, hey,” jawabnya pura-pura sebal lalu terkekeh dan membuat matanya menyipit seperti senyuman yang terbalik. “Tentang bagaimana tidak semua pencapaian yang sangat besar bisa menjamin kebahagiaan. Tidak semua orang selamanya butuh mimpi agar bisa hidup. Buktinya aku merasa lebih hidup karena mengambil waktu cuti, jauh melakukan hal yang kubilang mimpi, lalu melakukan hal-hal kerdil dengan malas yang kukira tidak seharusnya dilakukan saat aku masih muda. Aku hidup seperti BonoBono dan aku bahagia.”


Untuk beberapa detik yang terasa lama sekali, kalimat terakhirnya terus terulang di kepalaku, dan entah mengapa—oh, tunggu dulu.


Seketika aku tertegun, merasa bodoh sekali karena terlalu buta. Walaupun aku tahu benar bukan sepenuhnya salahku jika semua itu awalnya tidak mudah disadari.


Kuperhatikan lagi lamat-lamat wajahnya. Dari binar cemerlang matanya, pipinya yang sedikit kemerahan, kelopak matanya yang terlihat ringan sekali saat berkedip, dan—terutama—caranya tersenyum. Kemudian satu per satu dari semua itu secara ajaib saling membangun sebuah kesan yang membuatnya terlihat sangat menonjol dan berkualitas—entah bagaimana caranya.


Sekarang aku sadar, lelaki itu bukannya tidak berubah sama sekali kecuali rambutnya. Justru dia telah berubah banyak. Cukup banyak sampai semua orang yang berpapasan dengannya akan tahu bahwa dia sedang menjalani hidupnya kelewat baik.


Lega sekali....


Tanpa sadar sebelah alisnya sudah terangkat melihatku yang malah melamun terlalu lama. “Kamu tidak mau merespon? Kenapa hanya melihatku begitu?” tanya dia.


“Tidak ada,” kujawab jujur, senantiasa menyunggingkan senyum kecil. “Aku senang kamu hidup seperti BonoBono, bilang aku berterima kasih karena sudah mau kenalan denganmu. Tapi—“


“Tapi?”


“Tapi aku lebih senang karena kita akhirnya berjumpa lagi.”


Senyum di wajahnya kian merekah semakin besar saat aku melirik toko buku di belakangnya dan melanjutkan, “Tidak mau melihat-lihat ke dalam sambil lanjut berbincang …,


Vante?”







Comments

Post a Comment

Popular Posts