A Regular Day but You Weren’t Attending The Birthday Party



For better understanding the plot, read the story in the link before you read mine.

https://hvnlysprng.blogspot.com/2020/04/the-subtle-art-of-killing_78.html?m=1

Thank you.




“Kemanisan,” katanya.


Aku bahkan tak berniat untuk menoleh waktu dia bilang begitu. “Namanya juga—apa tadi?”


Milkshake.” Dia mendengus di sebelahku. Langkah kakinya ribut sekali, seperti kaki kuda. Mungkin karena dia cowok, jadi aku bisa setidaknya menerima sedikit kelakuannya yang grasak grusuk. “Tapi aku bilang kemanisan,” lanjutnya dengan penuh penekanan, sekarang membuat keributan lain dengan mengocok gelas minum di tangan sampai hampir tumpah.


“Sudah lah. Lagipula itu salahmu, kenapa tadi minta dicampur sirup cokelat dan chocochips?” Aku meliriknya sedikit dengan malas sambil menggigit sedotan minumanku. Sore ini memang agak panas, jadi kami memutuskan untuk membeli milkshake sebelum berangkat ke tempat les piano yang kebetulan sama-sama kami ikuti. Tetapi kalau tahu cowok ini akan menjadi sangat bawel karena masalah milkshake, harusnya kutolak saja ajakannya tadi. “Dan omong-omong percepat jalanmu, kita hampir telat kelas. Nanti kita dapat hukuman, lho.”


“Kamu juga tadi minta pakai chocochips,” protesnya, mengabaikan peringatanku.


“Tapi buatku tidak kemanisan, tuh?”


Jim - nama cowok yang bawel itu - langsung mengernyitkan alis, seolah-olah merasa tersinggung karena aku tidak memiliki selera yang sama dengannya. Padahal salahnya sendiri selalu mengikuti apa yang kulakukan, lupa kalau tiap manusia punya selera yang berbeda. Kami sedang menyebrang jalan saat Jim bertanya setengah mengeluh dengan suara berat seperti masih kesal, “Kamu mau habiskan minumku tidak? Aku lelah.”


“Apa hubungannya, bodoh?”


“Tenggorokanku mulai sakit. Aku tidak tega membuangnya, jadi tolong habiskan,” ujarnya. Oh, masuk akal juga dia.


Untungnya Jim punya sopan santun, jadi aku bisa secara sukarela meraih gelas minumannya yang tergolong masih penuh itu. “Ya sudah, ayo cepat jalan,” kubilang sambil lalu. Sekarang aku memegang dua gelas, orang-orang pasti berpikir aku rakus sekali. Tapi lama-lama aku tidak peduli karena minuman Jim ternyata terasa lebih enak daripada minumanku. Mungkin karena dicampur sirup cokelat. Entahlah, tapi aku jadi merasa tidak dirugikan.


Kami lanjut berjalan menuju tempat les piano. Jim diam sambil manyun, sementara aku dengan riang menyedot minuman yang sekarang jumlahnya jadi ganda. Omong-omong, kebetulan aku dan Jim tinggal bersebelahan, dan menjadikan kami tetangga. Jadi setiap jadwal les piano, salah satu dari kami akan menjemput untuk kemudian berangkat bersama. Berjalan kaki saja, kok. Karena tempat les kami tidak terlalu jauh. Beda tiga blok dan hanya butuh sepuluh menit - sampai lima belas menit kalau belok beli camilan dulu - untuk sampai.


Tempat les piano sudah tepat di seberang jalan saat si cowok bawel itu tiba-tiba setop berjalan. Aku sampai harus ikut berhenti dan mundur dari zebra cross hanya untuk memanggilnya. “Oi, sedang apa, sih? Jangan buang-buang waktu, kita sudah hampir telat!”


Namun cowok itu hanya memegang ranselnya erat sambil menghadap serong kanan, wajahnya tampak semakin mengerut. Dia melirik ke arahku lalu mengedikkan dagu, dan berkata, “Tuh lihat, pesta ulang tahun Daniel.”


“Oh?” Aku mengikuti arahannya dan menemukan rumah Daniel yang berada tepat di persimpangan jalan. Daniel - omong-omong - adalah teman sekolah dan satu angkatan denganku dan juga Jim. Anaknya lumayan ganteng dan cukup populer. Hari ini - seharusnya kalau aku tidak salah ingat - adalah hari ulang tahunnya yang ke lima belas. Sekarang rumahnya didekorasi sedemikian rupa. Suasananya ramai sekali dan penuh balon warna-warni yang sepertinya terlalu banyak sampai nyaris memenuhi plafon rumah. Halaman depan dan belakangnya dipenuhi kursi dan meja piknik di mana orang-orang berpakaian cerah dan bertopi kerucut berkerumun. Ada beberapa badut juga yang disewa keluarga Daniel untuk menghibur tamu, yang harus diakui, merupakan cara yang efektif. Pokoknya meriah sekali. 


Tidak heran, sih, Daniel memang populer. Begitu pula dengan kerabat-kerabatnya. Aku membayangkan bagaimana reaksi Daniel ketika tahu rumahnya jadi pengap begitu. Aku harap dia masih bisa ceria seperti biasanya walaupun orang-orang pasti lebih fokus pada bersapa-sapaan dengan orang tua Daniel dan kerabat-kerabatnya daripada merayakan ulang tahun Daniel sendiri. Karena aku bahkan tidak bisa melihat Daniel di mana pun, entah ke mana perginya cowok itu. Well, sedikit membuktikan bahwa dugaanku benar.


“Oh, itu bibi Helen!” ucap Jim membuyarkan lamunanku sambil melambai bersemangat pada seseorang yang melihat ke arah kami dari jendela rumah Daniel. “Hai, Bibi!” serunya.


Di jendela itu adalah ibu Daniel, kami biasanya memanggilnya Bibi Helen sebagai sapaan akrab karena beliau seringkali membagi-bagikan muffin blueberry gratis dari rumah ke rumah di komplek ini dan sekitarnya. Aku juga cukup sering mengobrol dengan Bibi Helen kalau bertemu, dan beliau memang ramah sekali sampai kadang memberiku muffin lebih. Aku tidak tahu apakah Bibi Helen juga seramah itu pada anaknya sendiri.


Ah, omong-omong, aku jadi ingat sekarang. Dua minggu lalu saat berpapasan di sekolah, Daniel dan Bibi Helen secara langsung mengundangku untuk datang ke pesta ulang tahun Daniel hari ini. Tapi sayang sekali, les pianoku harganya mahal dan aku tidak tega untuk bolos karena artinya aku membuang uang orang tuaku. Jim juga beralasan sama, terlebih karena orang tua kami saling kenal dan malah bersepakat menggantikan kehadiran kami di ulang tahun Daniel. Jika kalian tidak paham, itu artinya orang tua kami yang merayakannya, sementara kami - teman Daniel sendiri - justru sibuk menekan-nekan tuts piano dengan depresi. Bagaimanapun juga, karena terhalang banyaknya orang, aku jadi kesulitan menemukan keberadaan orang tuaku maupun Jim. Aku jadi ragu, jangan-jangan mereka sebenarnya tidak berniat datang untuk menggantikan kami di sana.


Tapi, ya sudah lah.


Bibi Helen, masih di jendela rumahnya, balik melambai pada kami. Namun Bibi Helen tidak mau repot-repot berteriak untuk mengajak kami bergabung dalam keramaian pesta karena beliau pasti sudah tahu apa yang menimpa kami berdua. Alih-alih demikian, Bibi Helen hanya mengepalkan tangan ke atas, sebagai komunikasi non verbal dari: “Semangat menyimak pelajaran piano-nya, ya! Haha!” Aku agak tersinggung, sebenarnya, tapi mungkin itu hanya sebatas spekulasi belaka. Kemudian, Bibi Helen kembali melambai, kali ini untuk mengucapkan salam perpisahan. Karena sesaat setelahnya beliau langsung berlalu menuju tangga untuk turun ke lantai basement.


“Dia pasti sibuk sampai buru-buru pergi begitu,” kataku. Masih memandang jendela di mana Bibi Helen baru saja tinggalkan. Di sebelahku, Jim menganggukan kepala tanpa mengucapkan apa-apa. Bibirnya kembali cemberut, bahkan lebih cemberut daripada sebelumnya.


Sudah bosan melihat rumah Daniel, aku beralih pada Jim yang masih terlihat nelangsa memperhatikan keramaian publik itu. “Kamu pasti sedih, ya? Tidak bisa datang,” cetusku masih sambil menyedot minuman yang belum habis.


Tanpa kusangka dia mengangguk, padahal aku hanya sepenuhnya iseng bertanya untuk mengejek. “Yeah, sedikit,” jawab Jim. “Sedikit sekali.”


“Aneh. Padahal kamu, kan, tidak suka Daniel?”


Jim mengangguk lagi. Dia pernah bilang padaku secara terang-terangan kalau Daniel itu aneh setelah memergokinya berburu kodok untuk diambil racunnya.  Hng.... Tidak tahu, deh. Jim memang kadang terdengar sangat idiot di hampir semua waktu sampai aku sendiri ragu apakah dia berkata jujur atau hanya mengada-ngada. “Memang,” akunya, “tapi aku suka Bibi Helen dan setidaknya kalau datang ke sana, aku bisa main dengan yang lain.”


Aku melihatnya sewot. “Jangan sok pencitraan, yang kamu suka cuma muffin blueberry-nya saja.”


Bibir Jim semakin manyun, dia memang mudah kesal. “Memangnya kamu tidak sedih? Oh, tunggu dulu, aku bahkan ragu kamu diundang.”


“Enak saja,” bantahku, melotot. “Lupa, ya, kalau orang tuaku yang pertama mengajak orang tuamu menggantikan kita di pesta ulang tahun? Supaya kita bisa terjebak di tempat les piano? Bersama guru yang galak itu?”


“Itu bukannya idemu? Kamu, kan, takut badut!”


"Kepalamu badut." Aku memutar bola mata, mulai lelah. “Terserah lah, tapi sekadar info, aku tidak takut badut. Buatku mereka hanya orang biasa dengan muka cemong penuh cat dan berlagak konyol. Dan ingat, ya, bocah sok pintar. Bukan artinya ketika beberapa orang bisa dapat serangan panik karena badut, jadi itu berlaku juga pada semua orang.”


Tanganku hampir saja menonjok wajahnya dengan gelas minuman di tangan saat Jim malah balik mengejekku dengan memanyunkan bibirnya dan mengikuti kata-kataku seolah sedang meremehkan. Anak setan. Namun yang kulakukan hanya mengedikkan bahu saja dan kembali meminum minumanku, berusaha tidak peduli. Kalau dia tidak memberikanku minuman gratis, sudah kutonjok sungguhan wajahnya.


Aku dan Jim masih terus memperhatikan keramaian rumah Daniel selama beberapa menit setelahnya. Dan gara-gara perdebatan barusan, aku jadi lebih memperhatikan badut-badut yang berkeliaran di taman rumah Daniel, sedang tersenyum membagikan balon dan bermain bersama teman-temanku yang hadir di sana. Aku bisa saja ikut merasa nelangsa seperti Jim, tapi waktu terus berlalu dan kami berdua hampir telat, jadi mau tak mau aku akan menariknya paksa dan segera pergi ke—


“Sebentar.” katanya tiba-tiba. Aku menoleh bingung, merasa bahwa aku belum melakukan apapun seperti yang aku rencanakan, tapi cowok itu sudah menahanku. 


“Apa?” tanyaku bingung. “Aku belum menarikmu paksa untuk segera pergi.”


Ketika kulihat, Jim sudah nampak agak aneh. Wajahnya setengah heran dan panik sampai mulutnya menganga. Aku bersumpah atas nama Tuhan, dia keliatan jelek sekali. Namun ketika kupanggil dia sama sekali tidak menoleh. Dan malah memanggilku untuk bertanya balik, “Coba lihat itu lalu jawab, apakah aku salah lihat?”


“Hah? Ada apa, sih?”


Sekali lagi, aku mengikuti arah pandangnya yang masih terfokus pada rumah Daniel. Hanya saja sekarang semua tampak berbeda. Dari jendela samping rumah Daniel, yang memperlihatkan bagian depan tangga menuju lantai bawah, tempat di mana Bibi Helen menyapa kami tadi. Samar-samar aku bisa mendengar orang-orang mulai bersumpah serapah. Secara perlahan gelombang kepanikan itu mulai menerjang orang-orang di halaman depan maupun belakang. Aku masih mencoba mencerna ketika semua orang telah tampak panik dan kebingungan. Badut-badut tak lagi tampak ceria dan konyol, senyuman mereka seluruhnya lenyap. Berganti kengerian. Dalam beberapa menit kemudian, tahu-tahu sudah ada sirine mobil polisi berseru mendekat. Semenit setelahnya giliran mobil ambulans, dan petugasnya yang menggerebek masuk dengan bantuan polisi untuk mengangkut sesuatu yang dibungkus karung warna kuning. Secara otomatis, dengan hadirnya dua aparat tersebut, sekarang pesta ulang tahun Daniel tidak lagi terlihat seperti pesta.


Perubahan suasana yang drastis itu membuatku dan Jim ikut kebingungan dari kejauhan. Aku sampai berhenti menyedot kedua minumanku yang tak kunjung habis itu. Kemudian aku bisa mendengar Jim bergumam pelan, “Apakah menurutmu—kamu tahu? Kamu lihat, kan? Mereka semua melihat ke dasar tangga yang digunakan Bibi Helen barusan.”


Aku mengangguk setuju, walaupun masih ragu dengan kesimpulannya. Namun kuputuskan untuk tidak berkomentar lebih lanjut.


Setelahnya yang kami lakukan hanyalah diam di sana. Di pinggir jalan. Melihat kerusuhan di rumah Daniel yang semakin tidak karuan dan berantakan. Tidak berniat bergerak ke mana pun, tidak bahkan ke tempat les piano yang hanya berjarak beberapa meter dari kami. Sepenuhnya lupa kalau waktu tidak akan pernah bisa membeku dan berhenti bergulir.


Sampai pada akhirnya aku menyeletuk, “Jim, kita sudah terlambat masuk kelas.”






-end-



Comments

Post a Comment

Popular Posts