I was Walking on a Street with Broken Lights

[S]aya tahu saya tidak akan bisa tidur malam ini. 

 

Masih terlalu awal sebenarnya untuk berasumsi begitu. Karena malam masih siang dan orang-orang masih bercengkrama dengan tawa-tawanya yang menggelegar di luar sana. Beberapa detik lalu saya baru menyadari, jam tangan saya yang sudah retak ini masih menunjukkan pukul 11 malam. Tapi saya sudah tahu saya tidak akan bisa tidur malam ini. Semua ini gara-gara segelas besar es kopi yang saya minum karena salah pesan. 


Hanya tersisa beberapa orang dan saya di sini, omong-omong. Telinga saya berdengung beberapa kali ketika mata saya mulai mengantuk dan hati saya berdebar-debar - sudah pasti efek dari segelas besar es kopi yang saya minum karena salah pesan. Kolega saya sudah pergi semua sejak entah kapan tepatnya, saya pun sudah diusir secara non verbal oleh si penjaga kasir yang berdiri di sana itu. Matanya nyalang sekali, dengan jelas memelototi saya yang masih mencoba menghabiskan segelas besar es kopi yang saya minum karena salah pesan. Kurang ajar, pikir saya, padahal tadi saya pesan hanya one shot. Tapi yang diberikan di wadah minuman saya ini jelas-jelas isinya dua shots. Tadi, waktu saya coba, lidah saya merengut karena pahit sekali. Detik itu juga saya langsung tahu saya tidak akan bisa tidur malam ini.


Jadi, saya keluar saja, tidak bicara apapun ke si kasir yang matanya hampir keluar memelototi saya sejak tadi. Tidak bahkan untuk mengucapkan, "Sampai jumpa lagi, dasar kamu wanita tidak punya sopan santun!" Walaupun saya ingin sekali. Ketika berjalan melewatinya, saya perhatikan papan nama di kerah bajunya, ternyata namanya Dorothy. Diam-diam saya berdoa semoga suatu hari mata Dorothy ini akan sungguhan keluar—ah, kejam sekali, saya tarik doa itu. Tapi saya tetap tidak mau bersikap ramah kepada orang yang membuat saya tidak akan bisa tidur malam ini. Seperti si Dorothy ini, contohnya. Masih sambil memikirkan Dorothy yang menyebalkan, saya lekas memakai mantel saya sebelum keluar kedai. Tak lupa mengancingkan seluruh kaitannya (sengaja saya lama-lamakan agar Dorothy semakin kesal). 


Omong-omong, begini rencananya: halte yang akan mengantar saya ke kawasan flat saya itu berada tepat di blok sebelah, jadi saya akan berjalan kaki ke halte tersebut sambilan merokok satu batang.


Sebelumnya saya lihat dulu jalanan di depan. Benar dugaan saya. Di sebelah kedai ini tepat berdiri sebuah klub malam. Tidak heran jikalau jalanan Central Orion sebelah sini masih ramai sekali. Jika dilihat dari sudut pandang saya yang dungu ini, rasanya seolah-olah manusia tercipta sebagai makhluk nokturnal, alih-alih sebaliknya. Manusia memang suka sekali melawan kodratnya.


Saya perhatikan kerumunan yang amburadul itu. Mereka bersinggungan dan berdempet pada satu sama lain, seperti domba-domba di ladang. Saya pikir kalau saya berjalan di antara mereka, akan ada banyak yang kesal karena saya senggol sana-sini. Tapi saya masa bodoh. Saya orangnya memang selalu masa bodoh. Jadi saya terjang saja mereka-mereka yang masih memenuhi jalan ini dengan acuh.


"Permisi, saya mau lewat," kata saya dengan judes ke beberapa orang yang mengantri masuk klub malam itu. Saya bisa merasakan beberapa dari mereka bersungut-sungut sebal di balik punggung saya, tapi saya masa bodoh. Saya orangnya memang selalu masa bodoh. Jadi saya lanjut berjalan dengan acuh seacuh-acuhnya yang saya bisa.


Ah, orang-orang ini, batin saya. Kenapa mau-maunya membuang waktu untuk berdansa di klub dan mabuk minum alkohol. Seumur hidup saya, saya tidak pernah pergi ke klub. Saya tidak suka ramai, saya pernah berpikir bahwa saya memiliki fobia khusus akan keramaian. Namun ternyata saya hanya tidak suka bernapas dengan udara yang sama dengan orang-orang macam itu. Tapi itu tidak penting. Yang penting adalah bahwa saya tidak tahu kenapa orang-orang ini memilih pergi ke klub, dan bukannya tidur di kamar masing-masing. Tidur adalah sebuah kenikmatan. Sayang, malam ini saya tidak akan bisa merasakannya.


Namun orang-orang di klub itu juga pasti akan mencemooh saya habis-habisan jika saya kepergok telah buang-buang waktu di kedai tanpa melakukan hal yang berarti, hanya minum kopi pahit dan bernapas, dan melamun. Dan mereka akan tertawa lagi kalau tahu saya bisa hilang akal sehat hanya karena minum segelas besar es kopi. Seperti segelas besar es kopi yang saya minum karena salah pesan tadi. Pada akhirnya saya sama saja dengan mereka. Suara sol sepatu hak saya memenuhi gendang telinga saat sebuah pertanyaan muncul di kepala saya: kenapa, ya, saya sombong sekali?


Saya jadi bertanya-tanya juga. Kenapa, ya, tadi saya menghabiskan banyak waktu di kedai? Saya sama hal-nya seperti orang-orang di klub, saya buang-buang waktu padahal waktu terus lari dan besok saya harus kerja lagi untuk dapat uang banyak. Apakah segelas besar es kopi yang saya minum karena salah pesan itu membutuhkan waktu lama sekali untuk habis? Saya manyun dan menghela napas. Tidak tahu, deh, gerutu saya. Manusia memang adalah makhluk dengan penuh kompleksitas dan kadang tidak jelas.


Beberapa saat kemudian, sepertinya mata saya mulai kabur karena lelah. Saya memijat batang hidung saya yang mulai ngilu karena terlalu banyak melotot. Saya jadi khawatir bagaimana kabar mata Dorothy, semoga nanti dia bisa tidur setelah saya doakan yang macam-macam. Sambil memikirkan Dorothy, saya segera berbelok di sebuah persimpangan menuju jalan St. Walmond yang sejauh ini juga masih dipenuhi kepala orang-orang yang berkerumun di pinggir jalannya.


Omong-omong, saya baru saja patah hati kemarin. Mungkin itu alasan kenapa malam ini saya jadi judes sekali dan semakin tidak bermoral dari hari ke hari. Saya mulai merasa sedikit anomali, kalau misalnya itu masuk akal.


Saya mengangguk dalam hati ketika pikiran itu terlintas di kepala saya. Benar, kemarin saya patah hati sampai tidak bisa tidur. Dan saya tidak akan bisa tidur lagi malam ini. Dorothy sialan. Saya juga harus akui, selain Dorothy, lelaki yang terakhir saya pacari itu brengsek sekali. Mungkin malam ini saya akan merokok lebih dari dua batang.


Sambil berjalan saya lekas meraih rokok di saku mantel saya. Ini sudah akhir Februari, tapi malam ini terlalu dingin, membuat jantung saya yang sudah berdebar karena segelas besar es kopi yang salah pesan, semakin berdebar lagi tak karuan. Terlepas dari fakta bahwa saya sakit hati kemarin, saya segera menggigit ujung rokok saya yang terasa manis seperti biji bunga matahari. Hm..., entah apa yang saya barusan bilang itu, sepertinya saya sudah mulai pelan-pelan kehilangan akal sehat karena efek dari segelas besar kopi yang saya minum karena salah pesan tadi. Tetapi saya tidak bohong ketika saya bilang rokok saya rasanya seperti biji bunga matahari. 


"Saya tidak boleh menyebutkan mereknya," gumam saya pada diri sendiri, "karena ini bukan sponsor." 


Setelahnya saya lanjut berjalan dan baru berhenti sejenak untuk menyulut api di rokok saya. Beberapa saat kemudian, saya angkat kepala, dan tahu-tahu orang-orang sudah melemparkan atensinya kepada saya, seolah saya baru saja menembak makhluk hidup sampai mati tanpa sengaja dan tidak melakukan apapun selain merokok.


"Seorang perempuan muda merokok di jalanan!" kata mereka, nadanya mencemooh.


Saya mendengus dan mendelik marah ke arah mereka. Lalu kenapa memangnya? Dasar kamu misoginis biadab, semoga kamu masuk neraka! Saya berteriak sewot dalam hati kepada lelaki yang pakai topi kupluk merah itu. Saya rasa tadi dia yang bicara paling keras di antara mereka. Saya bisa saja menyusupkan puntung rokok ini ke lubang hidungnya dan berteriak seperti orang gila. Tapi saya masa bodoh. Saya orangnya memang selalu masa bodoh. Jadi saya lanjut berjalan selama dengan jantung yang semakin berdegup kencang akibat amarah yang membludak dan efek dari segelas besar es kopi yang saya minum karena salah pesan tadi.


Di tepi jalan, saya menyulut puntung rokok kedua. Lalu belok ke kanan, melintas di depan kedai kopi lain yang sudah tutup, terus menyusuri jalan St. Walmond yang tidak kunjung habis. Melewati etalase baju-baju modern yang tidak masuk akal karena pinggangnya dibuat sekecil pergelangan tangan, lalu dinding panjang yang dipenuhi selebaran, kemudian kios-kios makanan laut yang kebanyakan hampir tutup. Sekilas saya bisa mengendus bau makanan laut mentah yang amis. Setelah melewati kios-kios tersebut, tidak ada lagi suara bising toko yang kentara, namun kerumunan orang masih berisik setia mengikuti langkah saya.


Rokok saya baru habis setengah ketika saya sadar, selain terlalu berisik, jalanan St. Walmond malam ini juga terlalu remang-remang. 


Saya mendongak ke atas sambil mengeluarkan asap rokok yang bergulung layaknya ombak di atas wajah saya. Saya baru sadar, rupanya lampu jalan di bagian sini sedang tidak berfungsi. Ini agak menjelaskan kenapa kerumunan malam ini lebih banyak dibandingkan hari biasa. Saya sedikit takut jika saya dirampok lalu diperkosa oleh salah satu dari mereka. Tapi saya lanjut merokok saja, karena saya masa bodoh. Saya orangnya memang selalu masa bodoh. Jadi saya lanjut berjalan dengan sepatu hak tinggi saya yang menciptakan bunyi dentam nyaring. Mereka harus tahu kalau saya punya sepatu hak tinggi yang bisa saya lepas kapan saja untuk memukul batang hidung mereka sampai remuk.


Tanpa sadar, saya sudah berjalan cukup jauh. Dan kaki yang tidak pernah dilatih ini mulai lelah. Ditambah saya juga memakai sepatu hak yang mau tak mau saya harus bilang tinggi sekali itu. Membuat saya ingin cepat-cepat duduk di bangku halte. 


Saya bisa merasakan beberapa pasang mata alias Dorothy-Dorothy lainnya masih mengikuti saya. Membuat naluri saya memerintahkan saya untuk langsung dekati tempat sampah terdekat, lalu menghanguskan nyala api yang masih mengepul di sisa rokok saya yang harganya mahal itu. Diam-diam mencoba menunjukkan bahwa perempuan yang merokok dan tidak bermoral ini masih bisa menjadi warga negara yang baik dengan menjaga kebersihan jalan. Ha! Makan itu, Dorothy! 


Begitu asapnya hilang, saya berbalik badan dan menemukan mata-mata itu masih terus memperhatikan. Seolah saya adalah acara TV Amerika yang bisa mengundang tawa atau bahkan hasrat berhubungan seksual. Beberapa detik setelah ini, bisa saja saya disekap dan diperkosa sungguhan. Tapi saya masa bodoh. Saya orangnya memang selalu masa bodoh. Lagipula saya baru saja menghabiskan segelas besar es kopi yang (terpaksa) saya minum karena salah pesan. Dan membuat saya mendapatkan energi tambahan. Mungkin dengan energi itu juga saya bisa mematahkan leher seseorang jika ada yang berani macam-macam. 


Dan lagi, yang paling penting, saya kemarin baru saja patah hati. Jadi sebelum saya berbalik untuk lanjut jalan menuju halte, sekalian saja saya bawa mata-mata bulat mereka bersama dengan seluruh memori dan patah hati yang saya punya, lalu menjejalkannya di sela-sela lipatan mantel yang saya pakai. Supaya bisa saya nikmati semuanya nanti. Sendirian. Sepanjang malam sampai pagi.


Karena saya tahu saya tidak akan bisa tidur malam ini.

 

Note: saya juga membawa mata Dorothy yang asli di saku kiri mantel saya.

 

 

 



Comments

Popular Posts