The Tale of the Rabbit's Sunflower Railway: Yang Dibicarakan dalam Perjalanan #1

Pada dasarnya, semua ini terdiri dari kebetulan-kebetulan belaka.

Cerita ini, maksud saya. Saya habis membaca Night on The Milky Way Railway oleh Kenji Miyazawa (bahkan belum selesai saya baca), lalu saya ingin coba membuat spin-off-nya. Walaupun yang saya ambil hanya ide stasiun dan keretanya. Sisanya saya peras dari otak saya sendiri, makanya hasilnya begini, haha. Maaf. Lagipula ini hanya untuk tugas kuliah, jadi saya tidak perlu berharap banyak, kan?


*

The Valley Sunset by Lizzy Dalton

[B]eberapa saat kemudian, tanpa saya sadari, saya sudah mendapati diri saya berjalan beriringan dengan Daiichi menyusuri jalan setapak. “Kamu pasti sangat terkejut,” katanya. Tentu saja, meski sekarang saya hanya bisa manggut-manggut dan berjalan setengah melompat dengan pikiran bolong penuh tanya. Bahkan saya sampai berpikir jika tanda tanya memiliki sesosok wujud harfiah, maka itu lah saya saat ini. Meski demikian, saya tidak diizinkan untuk bertanya sebelum kami sampai terduduk manis dalam kereta yang diusung-usungkan oleh Daiichi akan membawa saya mengikuti seluruh agenda festival Bunga Matahari. Tapi mau dikata apa? Saya tiba-tiba terjebak dalam sebuah dunia asing, dan terutama, kini saya adalah seekor kelinci. Perpaduan asing yang absolut itu mau tak mau membuat saya skeptikal pada semua hal di sekitar saya.


Saya sempat bertanya padanya, “Memangnya saya harus mematuhimu?’ 


“Ya━eh, atau mungkin tidak?” Daiichi mengedikkan bahu, sedikit tersinggung. “Sejujurnya kalau kamu tidak mau ikut pun tak masalah. Hanya saja, kamu harus menanyakan itu pada dirimu sendiri. Bukankah dengan mengikuti saya, kamu mendapatkan sebuah keuntungan tersendiri?


“Saya tahu kamu terjebak dengan pekerjaan paruh waktu di sebuah toko reparasi barang antik; gelap, dekil, bersama seorang lansia yang tidak punya energi untuk setidaknya mengajakmu bicara supaya tidak kesepian di malam festival.” Daiichi berhenti berjalan, dia menyentakkan kepalanya untuk menilai padang rumput penuh bunga, pepohonan kristal warna warni yang mengelilingi kami, dan gumpalan-gumpalan gulali yang gemuk-gemuk di langit. Lanjutnya, “Tidakkah kamu bisa melihat jika dunia ini menakjubkan? Berbanding terbalik dengan yang kamu singgahi sebelumnya. Lagipula, kamu mendapatkan kesempatan untuk mengikuti rangkaian festival di sini di saat kamu tidak bisa menghadirinya di sana.”


Kupikir jahat sekali, sih. Tapi saya akui jika Daiichi punya poin yang valid. Memang benar jika saya belakangan kesal karena alih-alih bersenang-senang menghadiri festival musim panas, saya justru terasingkan sambil menggosok barang rongsokan agar tetap kinclong dan cantik meski tetap saja tidak menambah nilai gunanya. 


Kami lalu diam. Daiichi lanjut berjalan, begitu juga saya yang memutuskan mengikutinya. Di sela-sela keheningan, saya kembali melamun sambil sekali-sekali memperhatikan keliling. Benar kata Daiichi, dunia ini sangat menakjubkan. Terutama, saya tidak pernah melihat langit berwarna biru cerah dengan gradasi ungu akibat digantungi gumpalan-gumpalan gulali raksasa yang kelihatan manis sekali dan membuat saya ingin mencicipinya. 


Namun seluruh kecantikan ini tidak masuk akal, tidak secara ilmiah. Rasanya seperti masuk ke dalam dunia yang khusus dibuat untuk anak-anak, atau setidaknya legenda-legenda yang diciptakan leluhur untuk menghormati roh-roh alam. 


Itu membuat saya teringat pada desa yang saya tinggali di Serikat Timur. Yang sepi dan tradisional- sangat tradisional. Mendiang nenek saya, adalah seseorang yang telah hidup cukup lama dalam budaya tradisional turun temurun yang religius dan kuno. Beliau percaya pada hal-hal berbau mitos yang kental. Saya jadi ingat pada setiap musim hujan, beliau seringkali memasangkan suatu kerajinan tangan di jendela-jendela yang diyakini mampu membujuk Dewi Air mencegah cuaca buruk yang merugikan[1]. Bersamaan dengan ritual-ritual pagi seperti menyiram pagar depan dengan air rendaman beras yang dipercaya membawa berkah dari Roh Tanah sebagai balasan terima kasih karena sudah merawat alam dengan baik.


Bagaimanapun juga, hidup dengan warisan tradisi religius membuat saya sedikit banyak percaya bahwa hal-hal mistis di luar akal manusia sebenarnya eksis di dunia ini. Saya dengar-dengar, daerah perkotaan Serikat Timur yang lebih maju sekarang sudah lebih sering menyangkal hal-hal seperti itu dengan sains dan sistematis alam. Ayah berkata begitu, dia menyatakan dirinya sebagai penganut panteisme, mungkin itu lah mengapa Nenek tidak setuju dengan pekerjaannya di kota sana. Semasa hidupnya, beliau percaya jika teknologi terlalu menekankan nilai-nilai globalis dan kontemporer yang akan membuat tiang religius keturunannya tergoyahkan. Tapi benarkah demikian? 


Pada akhirnya, kepercayaan spiritual tentang legenda-legenda dan mitos yang Nenek cerminkan pada setiap perilakunya membuat saya tertarik. Sejauh ini saya memang tidak pernah sekalipun menyaksikan kejadian-kejadian spiritual tersebut secara langsung. Pun tidak ada yang menduga jika suatu hari saya akan menyaksikan sesuatu semacam itu secara langsung, seperti saat ini. Ah, ketika berpikir begitu, saya bisa merasakan ekor bundar saya bergoyang. Benarkah ini nyata? Mungkin Nenek benar, ketika beliau bilang━


“Hey, tidakkah kamu bilang namamu adalah Paulinne?”


Oh, astaga, saya melamun terlalu jauh. “Benar!” jawab saya dengan sigap, sementara Daiichi kini sudah menolehkan kepalanya ke belakang, ke arah saya. “Orang-orang berkata pada saya jika nama itu terlalu susah dilafalkan oleh lidah ras kami. Kamu harus menekan konsonan ‘n’ untuk bisa menyebutnya dengan baik.”


“Begitu? Menarik. Tidakkah menurutmu nama saya juga sama asingnya?”


“Daiichi?” Saya menekankan vokal ‘i’ dalam namanya dan mengangguk. “Tidak, malahan awalnya saya menduga kamu berasal dari daerah saya. Tapi, kamu bisa menyebut nama saya dengan baik.”


“Saya ambil itu sebagai sebuah pujian. Sebenarnya, saya hidup lebih lama dari yang kamu pikir untuk tahu bagaimana melafalkan berbagai macam nama. Meski begitu, waktumu di sini tidak akan berlangsung selama yang kamu pikirkan pula. Untuk itu kita tidak bisa berlama-lama, Paulinne,” ujar Daiichi. Kami diam sebentar di puncak setapak, membuat angin membelai-belai rambut kelinci kami. Sekilas saya merasa seperti sedang dalam negeri dongeng. Lagi-lagi saya bertanya, bukankah memang demikian? 


Omong-omong soal kelinci, saya harus akui saya belum terbiasa dengan mimik wajah mereka karena saya jarang sekali bicara dengan spesies itu. Namun, terlepas dari kebingungan saya, saya bisa merasakan jika saat ini Daiichi sedang menyunggingkan senyum dengan bibir mungil kelincinya, dan ‘kumis’ panjangnya berderik-derik. Daiichi mengangkat sebelah telapak tangannya pada saya, melanjutkan, “Mari percepat langkah.”


“Ah, saya minta maaf, saya sama sekali tidak terbiasa berjalan sebagai kelinci. Atau melompat?” ceracau saya dengan murung. “Ini adalah pertama kalinya saya menjadi seekor kelinci.” Lantas saya melihat ke bawah, pada kedua tangan mungil saya yang seperti tenggelam oleh bulu, lalu ke arah kedua kaki belakang saya yang tertekuk dan membuat saya beberapa kali tersandung. “Apakah saya harus benar-benar menjadi seekor kelinci?” 


“Tidak apa-apa, kamu tidak perlu merasa bersalah. Agar kamu tidak mudah tersandung lagi, genggam tangan saya,” balas dan perintah Daiichi, Lalu dia berjalan━atau melompat?━ke samping saya, menarik tangan saya untuk mengaitkannya dengan miliknya, kemudian kami melanjutkan perjalanan. 


Saya tidak bisa bicara banyak dengan Daiichi setelahnya, hanya fokus berjalan dengan canggung. Mengapa pula saya harus merasa canggung? Tapi sebenarnya saya bisa merasakan detak jantung saya berdegup-degup dengan sangat tidak normal. Saya berpikir, sekaligus menyangkal, barangkali ritmenya begitu karena disesuaikan dengan kelinci pada umumnya. Begitulah, dari sana saya melamun. Tahu-tahu sampailah kami di penghujung kaki bukit di mana terdapat alun-alun di tengah sebuah pasar yang cukup besar dan di belakangnya barisan terasering perumahan warna-warni tampak menimpa satu sama lain. 


Namun kami tidak berhenti di sana, melainkan lanjut sedikit mengarah diagonal ke arah timur laut. Tepatnya ke sebuah peron terbuka di sisi kanan alun-alun pasar. Di sana pula, terdapat sebuah kereta yang berhenti. Tampaknya, itu adalah jenis lokomotif uap. Berwarna merah menyala dan terkesan legendaris dengan partikel-partikelnya yang keemasan. “Tidak tampak seperti kereta di dunia saya. Lokomotif uap sendiri sudah sangat jarang saya temukan, bahkan di desa saya di perbukitan,” cetus saya tanpa ditanya.


“Kalau begitu, kamu beruntung,” kata Daiichi. Hanya ada kami berdua di sini. Jadi saya bisa merasakannya tersenyum bangga di belakang saya. Tapi bisa jadi saya salah, mungkin Daiichi tidak benar-benar bermaksud untuk pamer.


Lantas saya memperhatikan sisi samping kereta yang menjulang, tidak yakin apakah sesungguhnya kereta ini berukuran seukuran kelinci secara harfiah atau justru wujud kelinci saya yang dibuat seukuran manusia sehingga kereta di hadapan saya ini tampak dalam rasio yang biasa-biasa saja. 


“Apakah kita akan benar-benar menaiki kereta? Gratis?” tanya saya pada Daiichi. Itu karena saya tidak pernah menaiki kereta sebelumnya, saya tidak bisa bepergian kemanapun karena Nenek terlalu menyayangi seluruh tradisinya. Sementara Ayah tidak mengizinkan saya berkunjung karena yang dilakukannya di kota hanya bekerja. Maka saya tidak punya pilihan lain selain terjebak di desa yang sama seumur hidup bersama pekerjaan paruh waktu di hari festival musim panas.


“Ya,” jawab Daiichi seraya menaiki tangga gerbong yang cukup tinggi dengan sangat mulus untuk seekor kelinci, lantas menjulurkan tangannya pada saya. “Mari, Paulinne. ”


Saya meraih tangannya, sedikit kesusahan karena ruas jemari kelinci rupanya tidak selebar tangan manusia. “Terima kasih,” ucap saya segera setelah berhasil menaiki gerbong. “Ini pertama kalinya saya menaiki kereta ini, Apakah hanya saya satu-satunya tamu di sini?”


“Betul sekali.” 


Saya memperhatikan Daiichi yang berbalik untuk menggantung topi serta jas miliknya pada sebuah kabin mini di sisi lorong yang menjorok.


“Lantas siapakah yang akan menjalankan keretanya?”


“Saya sendiri, Paulinne.”


“Oh?” Saya menatapnya bingung. “Tapi kamu adalah seekor kelinci.”


Mata Daiichi berkilat sedikit ketika kembali pada saya, namun seketika tersenyum. Dia membalas, “Benar, namun saya harap kamu tidak lupa jika saya sebenarnya adalah seorang masinis, saya memakai seragam masinis ketika pertama kali bertemu denganmu, ingat? Lagipula kamu pun seorang manusia yang sedang berwujud kelinci, bukan?”


Giliran saya terkesiap. “Ah, benar, maaf! Saya tidak bermaksud lancang.”


“Bukan masalah. Bagaimanapun juga, saya adalah seekor kelinci sekarang, dan seorang masinis juga,” balasnya dengan intonasi ringan, lalu mengayunkan tangan. “Silahkan duduk.”


“Baik. Terima kasih.”


Setelah itu Daiichi mulai berjalan menuju gerbong lokomotif, menyisakan saya yang terdiam bersama kursi-kursi penumpang yang kosong melompong. 


Beberapa saat kemudian, kereta uap itu mulai berjalan, awalnya perlahan namun semakin lama semakin cepat. Namun tidak cukup cepat sampai-sampai saya tidak bisa melihat apapun dan mencernanya dengan baik. Selagi saya memerhatikan kereta yang tampak sangat feminim dan antik tersebut, saya mendengar Daiichi memerintahkan saya untuk duduk di salah satu bilik kursi manapun yang saya inginkan, maka saya mengambil yang paling dekat dengan gerbong lokomotif━agar jika terjadi sesuatu yang tidak saya inginkan, saya bisa segera melaporkannya pada Daiichi. 


Tapi, toh, tidak ada yang benar-benar berpotensi untuk dilaporkan. Justru sejauh ini saya mendapati pemandangan yang sangat indah, spektakuler, sampai-sampai mata saya sendiri tidak mempercayainya. Bagaimana, ya, menjelaskannya? Awan-awan gulali, bunga liar warna-warni yang ukurannya lebih besar dari kepala sapi, dan juga pepohonan rindang yang ditempeli kristal-kristal berkilau. Bahkan saya sempat melihat sungai berwarna merah muda dan keemasan, mungkin saja itu sungai sirup stroberi━entahlah.


Saya mencoba membuka jendela sedikit untuk melihat lebih jelas dan merasakan udara segar. Namun mungkin seharusnya memang tidak usah, karena sesaat setelah saya membukanya, sesuatu tiba-tiba menerjang masuk ke dalam gerbong melalui jendela tersebut. Saya memekik dan nyaris terjungkal ke belakang jika saja kursi ini tidak cukup kuat menahan beban. Sekejap kemudian baru saya sadari jika itu adalah seekor burung kenari yang sekarang telah hinggap pada sebuah dipan kursi. 


Segera setelah menyadari wajah saya, burung tersebut langsung ikut memekik. “Maaf! Terkejut, ya?” katanya. Tentu saja dan bagaimana bisa kamu bicara, pikir saya. Namun saya tidak sempat menjawab karena burung itu lekas melanjutkan, “Halo! Saya melihat kereta ini dalam perjalanan dan memutuskan untuk singgah menyapa!” Dia sekarang tampak lebih tenang mengepakkan sayapnya ke depan dan ke belakang, membuat gestur melambai.


“Eh, ya, tentu saja. Halo juga,” balas saya, terbata-bata. “Nama saya Paulinne.”


“Paulinne! Perkenalkan, saya Tō si Burung Kenari.” Dia mengarahkan tangannya di depan dada. “Kamu pastinya adalah seorang tamu. Sudah pasti kamu adalah tamu! Tamu-tamu semua berwujud kelinci, tapi kamu ini gemas sekali. Bagaimana rasanya menjadi kelinci?” kicau Tō si Burung Kenari pada saya.


Saya sudah menduga jika Tō merupakan tipikal burung yang cerewet, tapi saya tidak keberatan. Untuk membalas keramahan Tō, saya menjawabnya dengan cengiran lebar sambil harap semoga dia tidak menemukan gigi kelinci saya terlalu besar dan menonjol. “Saya kesusahan untuk melompat. Daiichi━masinis yang di sana itu━menertawakan saya saat terjerembab, padahal kami baru saja saling mengenal.” 


“Ah, Daiichi. Pria baik!” Tō si Burung Kenari mengepakkan sayapnya sekali. “Tapi Daiichi seorang masinis selamanya. Tidakkah membosankan? Saya harap kalian akan menjadi teman baik! Semoga perjalananmu menyenangkan, Paulinne!”


“Terima kasih, kamu adalah burung kenari yang ramah sekali,” ucap saya. 


Tō mengangguk lalu kembali mengepakkan sayapnya dan berlalu keluar.



- berlanjut pada bagian 2 -



[1] Teru Teru Bōzu, boneka tradisional Jepang yang terbuat dari kertas atau kain putih dan digantung di tepi jendela menggunakan benang. Dipercaya mampu menangkal hujan.


Comments

Popular Posts