The Tale of Rabbit's Sunflower Trailway: Yang Dibicarakan dalam Perjalanan #2

Barangkali kamu menemukan banyak plot hole di sini. Tapi sebenarnya itu karena cerita ini hanya bagian kecil dari novel yang saya rencanakan untuk tugas salah satu mata kuliah.



*

The Valley Sunset by Lizzy Dalton


[S]elepas kepergian Tō si Burung Kenari tersebut, saya mengalihkan pandang pada Daiichi yang bertepatan baru saja kembali dari gerbong lokomotif, lalu berkata padanya dengan riang, “Binatang-binatang di sini pandai bicara, mereka bisa bicara.” 

“Tentu saja. Bagaimanapun juga, binatang bicara bukan sesuatu yang aneh di Mytha Norris. Bukankah kita sekarang juga sedang bicara dengan bahasa yang kamu pahami?” respon Daiichi. Dia berdiri dengan gagah di tengah-tengah lorong, menatap pada saya dengan senyum lebar. “Menakjubkan, bukan? Jika kamu kembali melihat-lihat sekeliling, kamu akan menemukan lebih banyak.” 


Daiichi lalu berjalan mendekati jendela kursi tempat saya duduk, wajahnya cerah seolah dia juga sedang menanti-nantikan apa yang akan kami lihat. Maka saya mengikutinya. 


Rupanya kami sedang melewati sebuah padang rumput, seperti yang sebelumnya saya berada. Hanya saja kalau yang ini dipenuhi bunga dandelion, dan saya tidak heran lagi melihat betapa cantiknya padang rumput tersebut. Namun beberapa saat kemudian saya menyadari jika dandelion-dandelion itu berkedip-kedip dan bergerak ke sana kemari. Mereka bukan bunga, ternyata. Lekas saya bertanya pada Daiichi, “Cahaya apakah itu?”

“Kunang-kunang," jawabnya segera, “sebut saja begitu.”

“Kunang-kunang?” Saya memiringkan kepala, kembali memperhatikan cahaya-cahaya benderang yang sama sekali tidak termakan terangnya matahari tersebut. “Adakah kunang-kunang di siang hari? Seperti dugaan saya, saya tidak pernah melihat yang seperti ini. Aneh sekali, mereka melawan hukum alam. Apakah kunang-kunang di sini berbeda dengan yang ada di dunia saya?”


“Tidak, mereka sama saja. Hanya sekadar kunang-kunang.”


Selesai menjawab saya, sosok kelinci abu-abu itu kemudian beralih pada pantry mini di belakangnya dan mengeluarkan satu set teko beserta dua cangkir porselen berwarna merah muda. Saya memperhatikannya dengan seksama selagi dia menata mereka di meja hadapan kami. Semula saya kira teko itu kosong, mengingat Daiichi membawanya dengan sangat tidak hati-hati. Atau memang sebenarnya demikian. Tapi ketika Daiichi menyungkur teko itu, tiba-tiba air mengucur dari hujungnya dan aroma teh hangat menguar kemana-mana. Saya terdiam sesaat mencerna itu, seperti baru saja menyaksikan sebuah aksi sihir. 


“Saya jadi teringat Nenek saya,” gumam saya tanpa diminta.


Daiichi yang sedang menuangkan teh ke dalam cangkirnya terkekeh sebelum menyeletuk, “Bisa sihir juga?”


“Tidak, bukan begitu,” sanggah saya. Walaupun sedetik kemudian saya baru menyadari jika dugaan saya tentang teko dan Daiichi sebelumnya itu benar. “Tapi nenek saya adalah seorang yang percaya hal-hal semacam ini. Saya pun percaya, saya hidup lebih lama mengurus nenek saya dibandingkan saya mengurus diri saya sendiri sejak meninggalnya beliau. Maksud saya adalah, nenek saya percaya jika kunang-kunang adalah bentuk reinkarnasi dari leluhur-leluhur kami. Mereka hidup dari kuku-kuku yang dipotong dan ditanam di samping mayat mereka[2].”

“Apa itu berarti nenekmu telah bereinkarnasi menjadi kunang-kunang?”

“Itu lah yang saya pertanyakan, Daiichi. Saya mengira saya bisa bertanya padamu, mengingat kamu lah yang membawa saya pada dunia ini, di mana kita berdua sama-sama menjadi seekor kelinci.” Saya menyilangkan tangan di pangkuan, Daiichi tersenyum simpul di balik cangkirnya dan matanya seperti menyimpan banyak pengetahuan yang barangkali tidak bisa saya cerna dengan akal manusia. Namun saya tetap kekeh bertanya, “Apakah kita harus benar-benar menjadi seekor kelinci?” 


“Pertama, Paulinne,” katanya perlahan, setelah jeda panjang yang ia pakai untuk menyingkirkan teko ke pinggir meja. Lelaki itu berbicara sambil menatap cangkir dengan sangat elegan seolah dia bukanlah seekor kelinci saat ini. “Pertama, bukan saya yang membawamu kemari, melainkan jam pasir yang kamu ambil di toko reparasi barang antik tempatmu bekerja paruh waktu. Itu bukan salah, saya.” Dia tertawa kecil, namun tidak terdengar lebih dari sekadar ha-ha yang tidak tulus. “Kedua, entahlah…. Saya dalam posisi yang tidak bisa menanyakan hal yang sama pada siapapun tentang itu. Apakah kamu pernah bertanya-tanya kenapa semua manusia adalah manusia dan kenapa mereka diciptakan berbentuk begitu?”


“Benar juga. Saya pernah berbincang dengan ayah saya soal ini.”


“Seperti apa itu berlalu?”


“Saya kurang paham, itu sudah lama sekali.” Saya menunduk, menatap gelombang teh dalam cangkir yang tidak tenang akibat getar kereta. “Mungkin seperti…, kenapa huruf ‘a’ harus dilafalkan ‘a’ dan bukan ‘i’ atau ‘o’? Semacam itu, kurang lebih. Tentu saja tidak ada apa-apanya dengan pertanyaanmu.”


Daiichi menyunggingkan senyum. “Apakah lagi-lagi kamu bertanya-tanya jika itu melawan hukum alam?” Lelaki masinis berwujud kelinci itu akhirnya meletakkan cangkirnya, menatap saya dengan kepala dimiringkan dan telinga yang setengah menjuntai. “Sebelum kita sampai pada agenda pertamamu, ada baiknya jika kamu mengingat-ngingat kembali. Bahkan kunang-kunang adalah hasil reinkarnasi dari kuku-kuku leluhur, bukan begitu?”


“Ya,” jawab saya pada kedua pertanyaan itu, “tentu saja.”


Hidung Daiichi berkedut sekali, dan kumisnya lagi-lagi berderik. Dia menolehkan kepalanya ke samping, ke arah luar di mana padang rumput, pepohonan, bunga-bunga berjalan mundur dan tertinggal seiring kereta yang melaju. Gerakan itu membuat telinga kelincinya berkibas. Saya menikmati sepersekian detik untuk memperhatikannya dan merasakan perasaan aneh, melihat seorang lelaki dewasa sebagai seekor kelinci. 


Lalu Daiichi mengatakan sesuatu yang membuyarkan lamunan dan menyadarkan saya jika saya juga sedang menjadi seekor kelinci. Ujarnya, “Lantas pernahkan kamu menerka-nerka jika manusia juga seringkali melawan hukum alam? Jika kita semua melawan hukum alam?”


“Tidak pernah terpikirkan, sayangnya.”


“Saya tidak heran, lagipula kamu masih muda sekali.”


“Jadi, maksudmu, ini persoalan sudut pandang?”


“Bisa jadi. Namun entahlah, pada kenyataannya, masih terlalu banyak rahasia yang disembunyikan alam semesta dan caranya berkehendak.” Daiichi diam selama beberapa detik, menatap pemandangan di balik jendela yang berjalan mundur dengan lambat. “Pernahkan terpikir olehmu mengapa di sini semua binatang berbicara dan berbahasa satu?”


“Ya, tadi saya sudah menanyakannya.”


Daiichi terkekeh, tawanya renyah sekali. “Betul juga,” katanya. “Katakan lah jika kita semua berbahasa kelinci━atau bahasa manusia, kalau kamu suka. Namun persoalan bahasa itu tidak penting. Yang penting adalah kemampuan kita memahami satu sama lain.”


“Lalu kenapa saya tidak bisa memahami bahasa lain di dunia saya?”


“Ya, kenapa begitu?”


“Bukankah artinya itu melawan hukum alam?”


“Tidak, tidak. Lebih tepatnya, siapa yang sebenarnya melawan hukum alam? Pada akhirnya, standar alam hanyalah sebuah garis ambiguitas. Tidak ada yang benar-benar tahu siapa yang melawan hukum alam atau siapa yang sebaliknya. Bagaimana jika sebenarnya malah tidak ada yang melawan hukum alam? Ini hanya persoalan kepercayaan dan teori-teori tentang cara alam bekerja. Tidak ada yang pernah tepat menebak soal itu, tahu?”

Saya terdiam, dalam kepala saya tergambar kembali masa lalu ketika Ayah dan Nenek berdebat soal bagaimana keduanya memandang alam. “Kalau begitu, sayang sekali mereka yang berseteru hanya karena masalah kepercayaan,” simpul saya.


“Kamu lebih mudah paham dari yang saya perkirakan.” 


Daiichi tersenyum miring, tampak puas seolah baru saja berhasil mendidik. 


“Nah, sekarang karena kamu tahu jika kamu sendiri belum tentu berada dalam standar hukum alam, mari kita bicarakan hal lain.” Daiichi meletakkan cangkirnya. Saya menatapnya seksama, menunggunya melanjutkan. “Barangkali kamu bertanya-tanya, tapi seperti yang kamu lihat, Mytha Norris bukanlah dunia biasa, Paulinne. Di sini, waktu tidak berjalan sebagaimana waktu di duniamu. Melainkan berulang-ulang pada hari yang sama.”


“Berulang-ulang?”


“Ya. Berulang-ulang.”


“Semuanya terjebak dalam hari festival?”


Daiichi mengangguk kaku. “Ya, kecuali jika mereka mati.”


“Mereka bisa mati?”


“Beberapa. Ada juga yang abadi. Saya termasuk salah satunya.”


Saya menutup mulut. “Oh, ya, ampun.” Pantas saja tadi Tō mengatakan jika Daiichi adalah masinis selamanya. Saya baru paham maksudnya.


Di depan saya Daiichi menyengir. “Tidak untuk dibanggakan, kok.” Padahal saya hanya kaget karena berbicara dengan makhluk abadi dan berpikir apakah saya seharusnya memanggil dia dengan sebutan ‘bapak’ atau ‘kakek’ atau malah ‘kakek buyut’. Tapi biarlah, pikir saya.


Daiichi kembali berujar, “Omong-omong, untuk persoalan apa yang akan kita lakukan di sini seluruhnya sesuai dengan kesepakatan kita yang sempat saya sebutkan, yaitu untuk melakukan tiga agenda.”


“Eh, saya tidak pernah melakukan kesepakatan. Saya datang ke sini secara tidak sengaja,” koreksi saya, menghela napas. “Tapi sepertinya saya tidak punya pilihan lain, bukan? Kamu punya poin ketika bicara mengenai ini sebelumnya.”


“Ya, anggaplah kamu sedang melakukan rekreasi singkat di tengah-tengah kejenuhanmu melakukan pekerjaan paruh waktu.” Daiichi menyunggingkan senyum simpul yang membuatnya tampak merasa bersalah meski saya tidak sepenuhnya yakin demikian. Lelaki itu lantas kembali melanjutkan, “Mari kita kembali pada topik sebelumnya. Singkatnya, dalam agenda-agenda tersebut kamu diharuskan untuk mendapatkan tiga kelopak emas bunga matahari. Dan karena kamu hanya memiliki waktu satu hari penuh hingga puncak festival tengah malam, tidak banyak yang kamu harus lakukan di sini. Hanya mengumpulkan tiga kelopak bunga. Tidak sampai harus menyelamatkan dunia, kok. Sebaliknya, kamu lah yang harus menjaga dirimu sendiri di sini.” 


Daiichi tampak sangat serius ketika mengatakan itu. Senyuman bersalahnya menghilang tergantikan dengan senyuman misterius yang saya kurang paham maksudnya.


“Saya?” Saya menunjuk diri sendiri. “Menjaga dari apa?”


“Dari segala hal,” jawabnya langsung tanpa basa-basi. Daiichi berhenti sejenak untuk menambahkan kesan serius yang saya percaya tidak benar-benar dia sengaja lakukan, namun cara itu berhasil karena sekarang saya merasa gugup. Sambil menunduk menatap cangkirnya, Daiichi meneruskan. “Paulinne,” katanya, “percaya lah, Mytha Norris bukan dunia yang tepat untuk kamu tinggali selamanya━kalau-kalau kamu sempat berpikir demikian. Jika belum, maka saya peringatkan lebih dulu.”


Alis saya berjengit tanpa dikontrol mendengar itu. 


“Mengapa? Bukankah dunia ini sangat indah? Itu yang kamu katakan.”


“Memang benar. Namun saya takut jika itu tidak berlaku━terutama━untuk seorang manusia, sepertimu.” Daiichi mengedikkan bahu lalu menegakkan duduknya. “Dan bukan di situ masalahnya, Paulinne.” 


Dalam diam tanpa sadar saya mengenggam cangkir lebih erat, takut-takut jika sesuatu yang akan dikatakan Daiichi akan membuat saya lebih terkejut.


Ucapan selanjutnya dari Daiichi dilafalkan dengan pelan dan lambat. 


“Siapapun yang berhasil menemukan ketiganya akan mendapatkan imbalan berupa satu keinginan yang terkabul.”


Oh…. Saya mengerjapkan mata dua kali. 


“Tidak seburuk yang saya duga,” kata saya tanpa sadar.


Di depan saya Daiichi terkekeh lagi. “Oh, ya? Namun sebenarnya, bagian itu yang paling saya khawatirkan. Dengar, Paulinne. Lagi-lagi saya tekankan, Mytha Norris bukanlah dunia yang tepat untuk makhluk alam yang mudah dikuasai keserakahan. Terutama para manusia. Barangkali kamu tersinggung, tapi sayangnya saya tidak akan meminta maaf untuk itu. Bagaimanapun juga, bukankah itu sifat yang wajar bagi manusia?” ujarnya “Setidaknya itu satu hal yang saya tahu dengan pasti.” 


Saya meringis sedikit sebelum cepat-cepat membalas, “Tidak, kok. Nenek saya sudah seringkali menceritakan saya kisah-kisah semacam itu.” 


Saya meletakkan cangkir kembali pada tatakannya dan Daiichi menyerahkan saya selembar tisu yang saya terima segera untuk membersihkan bibir. 


“Jadi, di mana saja mereka berada?” tanya saya sesudahnya. “Kelopak-kelopak itu?”


“Hm…. Tidak tahu soal itu. Mereka tersebar di mana-mana,“ jawab Daiichi. Dia bergumam. Di situ saya memperhatikan lagi jika ketika berpikir, Daiichi tanpa sengaja menganga dan gigi depannya timbul keluar. Membuatnya tampak seperti anak lelaki yang menggemaskan. Anak kelinci, lebih tepatnya.


“Sepertinya kamu pun tidak tahu?”


“Jangan heran, Paulinne. Sejak dulu, seluruh destinasi tamu-tamu Mytha Norris berbeda antara satu dengan yang lain. Kalau saya boleh asumsikan dari pengamatan saya, semuanya tergantung pada warna hati setiap tamu.”


“Warna hati?”


Lelaki itu mengangguk.


“Warna hati?” ulang saya tidak yakin. “Saya kira semua hati berwarna merah darah.”


Daiichi terkekeh. “Bukan begitu. Maksudnya tidak secara harfiah. Di sini, hatimu dinilai dari caramu memandang seluruh hal. Tapi tidak perlu khawatir, ketika saya berbincang denganmu, sepertinya saya sudah tahu kemana saja kita akan menuju.” 


Sementara saya masih mencerna maksud dari perkataannya, lelaki itu lalu melirik pemandangan di luar. Di mana kini semuanya tidak lagi tampak seperti pelangi di mana-mana, melainkan biru laut dengan kesan seperti di pesisir karena dipadu dengan krem muda. Seluruhnya masih tampak sangat menakjubkan dan berkilauan. Kristal warna-warni kini digantikan dengan warna biru-biru cerah dalam berbagai nuansa. Sepertinya kami mendekati ujung Mytha Norris, begitu dugaan saya. Meski saya sendiri tidak yakin apabila Mytha Norris hanya sebatas nama dari sebuah pulau. 

“Oh, tampaknya saya harus kembali ke gerbong lokomotif. Sebentar lagi kita akan sampai pada tujuan pertama. Persis seperti yang saya duga,” ucap Daiichi diiringi senyuman misterius. Dia lalu meletakkan cangkir dan beranjak berdiri. “Saya ingin kamu bersiap-siap─secara mental, maksud saya. Mengingat kamu tidak membawa apapun. Kalau begitu, saya permisi sebentar.”


Saya mengangguk dan memperhatikannya berjalan menuju pintu penghubung gerbong dalam diam. Tangan saya sudah bersiap-siap meraih cangkir untuk menghabiskan sisa teh ketika Daiichi berbicara lagi sebelum benar-benar menghilang dalam gerbong lokomotif. “Paulinne,” ujarnya kaku. “Bukan maksud saya untuk menakutimu, namun tolong percaya pada saya jika saya bilang, saya bisa melihat dengan baik warna hatimu. Dan dengan sepenuh hati milik saya sendiri, saya harap saya tidak salah menilaimu sama seperti manusia-manusia lainnya.”



*


[2] dikutip dari buku Sepotong Senja untuk Pacarku karya Seno Gumira Ajidarma, halaman 68.



Comments

Popular Posts