Seven Folk Songs We Listen to
Inspired by Taylor Swift’s song titled ‘Seven’ in her full album, Folklore.
“Kamu tahu, kadang aku tiba-tiba ingin sekali menjadi sebuah lagu,” kata sebuah suara di sebelahku. “Lagu folk, tepatnya.”
Aku terkesiap dan langsung menoleh ke kanan, sambil mau tak mau menyingkirkan helaian rambut bandel yang mengganggu pandangan. Lalu tahu-tahu aku mendapati kamu telah duduk bersila di sebelahku, tersenyum lebar. Senyummu cerah sekali, ingin kubilang begitu. Membuatku menduga-duga kabar baik apa yang akan kamu sampaikan padaku hari ini, layaknya surat kabar harian yang Ayah biasa baca dengan segelas kopi mengepul di pagi hari.
“Oh, well, halo─sebelumnya.” Kuberikan kamu sebuah senyuman yang sama lebarnya. “Kukira kamu tidak akan datang sore ini.”
“Ah, maaf sekali. Aku harus terlebih dahulu selesai menggiling gandum.”
“Tidak apa-apa!” Aku memberinya gelengan kepala, mengembalikan senyumanmu yang semula pudar. “Omong-omong, lagu folk? Seperti yang biasa kita dengar di rumahku?”
Kamu mengangguk semangat. Dan seketika, pikiranku kembali ke rumah, ke ruang tamu di mana Ayah meletakkan mesin turntable miliknya di meja kayu, di sebelah vas khusus bunga lily segar yang Ibu beli setiap hari selasa. Lalu ke waktu-waktu di mana aku dan kamu, kita berdua, berbaring di atas karpet, di depan perapian. Pandangan menatap langit-langit dan lampu kristal gantung. Hanya diam. Mendengarkan alunan koleksi musik folk dari turntable milik Ayah. Kadang sedikit kali cekikikan pada lelucon masing-masing, lalu kembali diam mendengarkan.
Kita bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya begitu saja, aku ingat sekali itu. Dari sore hingga menjelang petang, hampir setiap hari. Sampai aku mengantarmu pulang dan melihat bahumu kembali turun seiring langkah yang kamu bawa jauh dari pintu rumahku.
Di rumahku itu pula, untuk pertama kalinya kamu mendengarkan sebuah lagu. Pertama kalinya sejak dua belas tahun kamu hidup di dunia, kan? Kamu langsung─apa sebutannya? Jatuh cinta? Itu agak berlebihan, sih, pikirku saat itu. Namun ketika aku melihat binar yang memenuhi matamu, serta senyumanmu yang merekah di bawah pipi bersemu. Aku langsung tahu kamu benar-benar jatuh cinta pada musik folk. Aku juga ingat, setelah itu aku memohon pada Ayah untuk membelikan koleksi musik-musik serupa agar kamu bisa tinggal lebih lama. Khususnya, agar kamu bisa tinggal lebih lama.
Aku berbisik pelan, sedikit lebih keras dari angin yang berhembus: “Mengapa?”
Pertanyaanku mudah sekali, tapi kamu langsung terdiam dengan mata memandang jauh ke depan, lebih jauh dari ujung permukaan danau di hadapan kita. Entah apa yang sedang kamu pikirkan. Tapi yang pasti kamu sedang mencoba meramu kata-kata yang masuk akal untuk dijadikan alasan.
Sisanya barangkali beterbangan pada hal-hal yang membuatmu tampak lelah, yang membuat punggungmu membungkuk, atau yang membuat suaramu serak kehabisan energi. Mungkin juga pada apa yang membuatmu lebam-lebam dan sekarang matamu tampak sayu sembap. Mungkin juga pada bayang-bayang Ayah dan Ibumu yang terlalu keras, lupa kalau kau ini hanya puan muda yang belum tahu apa-apa tentang dunia.
Terkadang, aku ingin sekali jadi pahlawan di buku-buku cerita yang Ibu bacakan kepadaku. Supaya aku bisa membawamu kabur ke India, atau sekalian saja jauh-jauh ke Bulan sampai Saturnus. Supaya kita bisa terus berbaring mendengarkan lagu folk selama yang kamu mau, tanpa rasa khawatir dimarahi karena pulang melewati waktu senja. Dan supaya aku bisa terus-terusan memuji indahnya kepangan rambutmu dan caramu jatuh cinta pada lagu-lagu itu. Juga supaya kamu bisa terus ingat, kalau kamu punya aku dan turntable Ayahku untuk rehat sejenak.
Di sisiku, dengan senyuman yang masih terpatri tak ada lelahnya, kamu berujar, “Aku jatuh cinta pada lagu folk.” Aku tahu itu. Kamu melanjutkan, “Aku terlalu jatuh cinta pada lagu folk. Mereka memberiku ketenangan dan kebahagiaan yang tidak bisa aku dapatkan di sebuah rumah yang tidak terasa seperti rumah sama sekali.”
Kamu menoleh untuk menatapku dengan sendu yang bermuara di kedua matamu. Tulang pipimu tampak sangat menonjol dari sudut ini. Kamu tampak lebih kurus, ya? Apakah ibumu lagi-lagi tidak memberimu kentang tumbuk yang cukup? Atau apakah ayahmu lagi-lagi marah, dan mabuk, dan membuatmu harus sembunyi di lemari sampai melewatkan jam makan? Hey, apakah kamu baik-baik saja?
Aku baru saja mau menanyakanmu sudah makan atau belum. Namun rupanya kamu belum selesai bicara.
“Aku ingin jadi lagu folk, agar aku bisa memberi yang serupa pada orang-orang yang mau mendengarkanku,” kamu melanjutkan. Aku bisa merasakan suaramu seringan sayap-sayap capung yang terbang mondar-mandir di sekeliling kita, seakan semua hal yang memberatkanmu tiba-tiba lenyap seperti sebagaimana mestinya. “Aku ingin jadi lagu folk,” tambahmu lagi, “agar kamu bisa selalu mendengarkanku; agar aku bisa selalu bersamamu.”
Tidak perlu khawatir, kataku dalam hati. Bahkan sekarang aku sedang mendengarkanmu dengan takzim.
Dan meski hari ini sangat berangin di tepi danau, suaramu terdengar sangat jelas di telingaku. Persis seperti yang kamu inginkan. Hanya ada aku dan kamu, serta suaramu yang begitu jernih di sini. Jadi setelah ini aku akan bangkit berdiri, tersenyum selembut mungkin padamu dengan tangan terulur. Lalu aku akan bertransformasi sebagai pahlawan yang menyembuhkanmu, yang akan membawamu pergi ke India. Tapi kalau mau sekalian yang jauh-jauh seperti Bulan atau Saturnus, aku tidak akan keberatan sama sekali. Asal kamu bahagia.
Namun sebelum itu, aku akan bertanya lebih dahulu:
“Mau mendengarkan lagu folk di rumahku lagi sore ini?”
***
The song is about one of Taylor’s childhood friends who seemed to have an unhappy life at home. Taylor reflects back on her innocence back then, how she thought the problems could be easily solved. Quoted from Genius, Writer Aaron Dessner said about ‘Seven’: “It’s kind of looking back at childhood and those childhood feelings, recounting memories and memorializing them. It’s this beautiful folk song. It has one of the most important lines on the record: “And just like a folk song, our love will be passed on.” That’s what this album is doing. It’s passing down. It’s memorializing love, childhood, and memories. It’s a folkloric way of processing.”
Comments
Post a Comment