les oiseaux dans la charmille

            Saya dan Prana adalah dua manusia yang tersesat.

Kami tak tahu-menahu soal hari, meski waktu itu saya sudah berusia lima belas tahun dengan gigi dewasa yang lengkap dan rambut yang baru dipangkas sebahu. Kami tak menghapal tanggal, namun Prana sempat menjawab ragu-ragu ketika saya bertanya pada hari apakah ia lari dari rumah. “Uh ... Selasa,” tuturnya dengan suara gemetar, entah karena ia gugup atau cuma gara-gara jalanan selalu penuh kerikil, sehingga roda bendi yang melindas mereka bergemeletuk cukup keras.

Saya tak yakin apakah ia gugup. Tetapi saya tahu ia berbohong. Pakaiannya terlalu bersih, walau tampak noda debu dan cipratan lumpur di beberapa titik. Ia mengenakan sepasang sepatu favoritnya, berwarna hitam dengan hak setinggi ibu jari kaki, blus putih serta celana longgar serona daun musim gugur. Peti yang diangkut bendi itu kosong, beraroma kapur barus. Seandainya tidak ada Prana yang duduk memeluk lutut di sebelah saya, dengan wangi parfumnya yang seperti stroberi, mungkin saya sudah mabuk kendaraan.

Saya tahu bahwa ia tidak lari dari rumah, melainkan hanya sama tersesatnya seperti saya. Kami sama tersesatnya dan sama cerobohnya, sebagaimana anak-anak remaja lain di luar sana. Barangkali Prana merasa harus berbohong sebab ia sedikit lebih tua dari saya—empat atau lima bulan, entahlah, saya tidak pandai menghapal kalendar. Barangkali Prana merasa kalau mengaku-ngaku sedang lari di rumah adalah pilihan yang terbaik. Belakangan saya sadari baik Prana maupun saya tidak pernah memilih keputusan yang benar, termasuk keputusan untuk menyusup ke dalam peti beraroma kapur barus yang diangkut sebuah bendi.

“Kau tahu ke mana kita mengarah?” tanya saya.

Prana mengedikkan bahu.

“Kau tahu di mana letak Tashkent?” tanya saya lagi.

Prana mengedikkan bahu lagi. Saya tergagu, tentu saja, pikir saya. Mana mungkin orang asing yang saya temui di dalam peti dapat menunjukkan jalan pulang ke rumah, bila saya sendiri tidak tahu cara untuk pulang?

Kami terdiam selama beberapa waktu. Kepala saya kadang terbentur dinding bagian dalam peti. Rasanya tidak sakit, tapi lama-kelamaan saya pusing juga jika sambil disuruh mendengar suara tapak kaki kuda dan gemeletuk kerikil.

Tiba-tiba Prana mengguncang bahu saya, lebih kuat daripada guncangan bendi, lantas menatap saya dengan teramat serius. “Bagaimana kalau kita sekarang sedang diculik?”

Bergidik, kala itu pikiran saya terbelah menjadi dua. Yang satu tertular rasa takut dari sepasang mata cokelat terang Prana, yang satu lagi mencetuskan argumen-argumen logis. Kami sendiri yang menyusup ke dalam peti, bagaimana pemiliknya bisa tahu kami ada di dalam sini? Mengapa juga repot-repot menculik anak dekil, bodoh, dan jelek seperti saya? Dan jika Prana memang hendak lari dari rumah, untuk apa takut pada penculik? Semua argumen yang masuk akal, namun saya tetaplah anak berumur lima belas tahun. Lima belas tahun dan masih terlalu naif di hadapan dunia.

Netra kecokelatan itu masih menatap saya; diam, diam, ragu, khawatir—saya tak pernah tahu apa yang sebenarnya tersembunyi di sana. Saya tak punya cukup keberanian untuk balas memandangnya lebih dari tiga detik.

Hingga kemudian hening. Bendi berhenti dan itulah pertama kali saya merasakan dorongan kuat untuk melompat keluar, lari, pergi sejauh mungkin—namun Prana masih mencengkram bahu saya. Perlahan saya meliriknya, dan saya menyesal sempat berpikir untuk kabur meninggalkannya sendirian di sana.

“Tidak apa-apa,” ujarnya tenang. Setelah menerima anggukan singkat saya, ia berpaling untuk mengintip dari celah kecil pada dinding peti. “Sebuah rumah,” ia bilang, “dengan cerobong asap, kebun kecil dan pagar kayu, pohon ceri dan ayunan—oh, dan nona muda yang manis!”

Yang bisa saya lihat hanyalah kegelapan. Jika Prana berbohong hanya untuk menenangkan saya, tentu ia adalah pembohong ulung. Caranya menyebutkan rumah dengan pelatarannya diliputi nada kagum yang mau tak mau mendorong saya untuk mengukir sendiri bayang-bayang mereka di dalam kepala. Rumah, cerobong asap tinggi, kebun penuh bunga warna-warni, pagar kayu terlilit tanaman rambat, pohon ceri yang rindang beserta ayunan bergoyang bersama angin.

Kepala saya masih sibuk membayangkan lanskap tersebut ketika Prana melanjutkan, “Jika peti ini berguncang lagi, jangan berteriak atau lari keluar.”

Belum sempat saya bertanya, peti ini betulan berguncang. Kali ini berbeda dengan guncangan bendi, jauh lebih pelan dan berirama. “Ada apa?” bisik saya.

“Kita melayang.”

Sulit memaknai jawaban itu. Apakah melayang secara denotasi atau konotasi? Ibu guru mengajari saya linguistik, tapi tidak pernah menunjukkan pada saya bagaimana cara berkomunikasi dengan benar. Walaupun belum sepenuhnya mengerti, saya tetap bertanya, “Melayang ke mana?”

“Ke sana.”

Bukan jawaban yang jelas juga.

Menggigit bibir, saya telan dalam-dalam kerisauan yang belum juga hendak beranjak. Prana yang sedikit-sedikit mengintip dari celah yang tak dapat saya jangkau pun sama sekali tidak membantu, malah menambah kegelisahan. Biarlah, saya membatin, biarlah diculik atau melayang, atau apapun nasib yang hendak Tuhan berikan pada anak tersesat macam saya ini.

Dan yang Tuhan berikan adalah guncangan terakhir, diikuti bunyi berderit dan cahaya menyilaukan mata.

Sempat saya kira Tuhan hadiahkan kematian, sebab retina saya kesulitan menerima sinar terang selepas begitu lama beradaptasi dengan hitam bayangan milik Prana dan saya sendiri. Mungkin ini surga? Cukup menjelaskan mengapa ada aroma manis di udara, perpaduan harum roti yang baru dipanggang dan perapian hangat. Namun kala pandangan saya kembali bekerja, yang nampak bukan surga, melainkan sebuah ruang tamu dan seorang nona.


-to be continued-

Yo, holy F. My best(est) friend made this story for me to celebrate my 20th year's birthday! SO HAPPY! Thank you, Freyja. Literally, what did I do to deserve this /sobs/. But anyway, this is just half of the story. So, if you want to read the full version of it, feel free to visit my friend's blog. 

Comments

Popular Posts