Skip to main content
The Painter's Elegy
Melanjutkan prompt dari seorang teman dan terinspirasi dari perkataan Vincent Van Gogh, dalam lukisannya 'Painter on his way to work, August 1888': "I am far from having reached any kind of tranquility ... I feel a failure ... a lot that I accept and that will not change... The prospect grows darker, I see no happy future at all."
The Repetitions, January 1889
Sunflowers (F457), replica of the 4th version
─ by Vincent Van Gogh
Namaku adalah Prana dan aku sedang berdiri di persimpangan jalan setapak.
Namaku adalah Prana, dan aku sedang berdiri di sini dengan mata mencari-cari serta mulut meringis karena kakiku perih akibat sepatu bot yang sudah kesempitan. Di sekelilingku hanya ada ladang bunga matahari sejauh mata memandang, entah milik siapa, dan jalan setapak ini terlalu terbuka ─ yang merupakan hal bagus karena aku sedang mencari seseorang bernama Hugo.
Namun kamu tidak ada di situ, dan tidak ada di sana pula. Padahal seharusnya kamu bisa kutemukan di sekitar sini, di mana berpetak-petak bunga matahari rimbun bermekaran. Kemana lagi kamu kali ini, Hugo?
Bermenit-menit kemudian aku hampir menyerah, dan membuat kekhawatiranku membludak berkali-kali lipat, juga membuat seluruh usahaku ke sana kemari mencarimu nyaris sia-sia. Jika saja sesuatu tidak tertangkap oleh mataku. Sesuatu yang kecil dan tampak sepertimu di puncak undakan di tengah-tengah ladang bunga matahari. Aku tersenyum lega, sepertinya tadi kamu membungkuk di balik kelopak-kelopak bunga matahari sehingga luput dariku. Tanpa membuang waktu lebih lama, aku langsung bergegas mendatangimu. Susah payah dengan gaun panjang yang harus kusibak membelah ladang yang tinggi-tinggi bunganya.
Aku tidak tahu apakah kamu menyadari kedatanganku atau tidak. Pasalnya kamu sedang memunggungiku, menghadap pada kanvas yang kamu dirikan dengan kokoh; yang sudah tercoret-coret cat minyak yang kamu bangga-banggakan itu. Sedang melukis, kupikir, apa yang baru dari itu?
Aku melangkahi sebuah undakan kecil ketika kupikir lagi, bahwa: biasanya jika sudah begitu, kamu akan hilang indera pada dunia di mana tubuhmu berdiri. Makanya kamu sering menyendiri di antah berantah, dan makanya kamu susah sekali untuk kutemukan seperti sebuah berlian di tumpukan jerami. Sebab kamu mencintai caramu melukis, dan sebab melukis adalah hidup serta matimu. Namamu adalah Hugo dan begitu yang kuingat tentangmu, kamu sendiri pula yang memberitahuku.
Namun, demi nama Tuhan dan seluruh alam ─ ketika aku sampai padamu, aku justru menemukanmu berdiri dengan botol di tangan, dan lukisan yang kuasumsikan baru saja kamu selesaikan kini sudah basah kuyup serta luntur di beberapa bagian yang catnya belum kering. Dan di depannya, di depan lukisan itu, kamu tampak berantakan, dengan rambut yang entah kapan terakhir kali kulihat seberantakan itu, dan pakaian yang kusut seolah kamu melupakan kebiasaanmu untuk tampil rapi, juga dengan wajah yang gelap dan murung dan ─ oh, apa yang telah dunia perbuat padamu hari ini, kawanku?
Intinya, kamu tampak terpecah-belah seperti kapal yang karam dan aku tidak tahan, maka aku langsung memanggilmu, “Hugo, apa yang sedang kamu lakukan? Kenapa kamu menyirami lukisanmu seperti menyia-nyiakan usaha, dan terlebih cat minyak yang kamu beli mahal-mahal dari India?”
Maafkan teguranku yang terlalu keras suaranya. Sudah pasti aku membuatmu terkejut, karena ketika kamu berbalik, matamu membelalak menangkap kehadiranku. “Prana,” kata pertamamu, itu adalah namaku. Lalu dalam sepersekian detik amarahmu yang entah pada siapa itu ─ mungkin padaku ─ kembali lagi, dan kamu bilang, “Aku membenci lukisan ini.”
“Apa?” Aku bisa merasakan sedih perlahan menghampiriku. Padahal karya indah itu adalah lukisanmu sendiri. “Kenapa?”
“Tidak tahu.”
“Kamu tidak bisa membencinya. Kamu menghabiskan dua minggu penuh setiap hari ke sini hanya untuk melukis mereka, melukis bunga-bunga matahari itu.”
“Kamu tidak bisa melarangku,” tegurmu balik. Benar sekali, kupikir, meski aku berhak hanya bertanya dan merasa khawatir serta sedikit marah. “Karena tanpa kamu tahu,” kamu melanjutkan, “setiap langkahku kemari kubawa dengan amarah dan ketidak sukaanku pada bunga matahari.”
Kali ini aku menatapmu bingung. Namun sebenarnya kamu mengingatkanku pada seseorang yang pernah mengatakan jika: individu-individu yang hidup di bumi Tuhan ini punya sisi yang selalu disembunyikan dari individu lainnya. Seperti senyuman bocah yang mati-matian ditahan setelah mencolong beberapa colekan krim kue tart. Atau seperti bekas luka di sepanjang lengan seorang prajurit, yang harus dibalut supaya tidak menakuti yang melihat. Atau seperti seorang pelukis yang jauh-jauh lari dari peradaban untuk meringkuk di tanah dan membenci lukisan-lukisannya.
Apakah kamu juga begitu, Hugo? Kuharap tidak. Apakah pada malam-malam dalam nuansa kelabu cahaya lilin, kamu diam-diam menangisi sesuatu yang kamu kasihani dalam dirimu? Kuharap tidak. Atau apakah pada waktu yang kamu habiskan sendirian di antah berantah, seluruhnya kamu gunakan untuk melukis nasib yang tergaris pada hidupmu? Seperti sekarang? Kuharap tidak. Tetapi entahlah, kompleks sekali, manusia itu. Jadi kutanya kamu lagi, “Kenapa?”
Namun kamu malah membalikkan badan kembali menghadap kanvas lukismu yang kuyup dan mengalir airnya menetes-netes. Kamu pandangi ia lamat-lamat seolah itu adalah sebuah catatan kriminal dari orang yang paling keji yang pernah ada di bumi Tuhan. Sayangnya, kamu-lah pelukisnya.
“...Hugo?” panggilku, membuyarkan lamunanmu yang entah terbang ke mana. “Apakah ada sesuatu yang belum dan ingin kamu sampaikan kepada seseorang? Kepadaku?”
“Kubilang aku tidak tahu,” katamu dengan nada ditinggikan, terlalu tinggi pada seorang perempuan, padahal aku sudah jauh-jauh mencarimu dan merasa khawatir seperti seorang Ibu yang tidak pernah mengasuhmu. Kamu marah, aku tahu itu, tapi saat ini wajahmu mengatakan sebaliknya ─ bahwa kamu murung dan bersedih.
“Mungkin karena,” lanjutmu dengan perlahan namun penuh penekanan, “mungkin karena mereka terlalu cerah dan menyilaukan sehingga menyakiti mataku. Dan itu secara tidak langsung membuat hatiku sakit juga. Aku harap suatu hari mereka akan terbakar dan hangus dan biji tunasnya tidak akan lagi tumbuh.”
Kamu melanjutkan lagi ketika aku tidak memberi balasan apapun. Sebab aku masih kejut budaya pada suasanamu yang belum pernah kulihat ini. Sebab kukira aku sudah hapal betul atas siapa itu yang namanya Hugo, dan juga atas setiap lukisannya yang ingin kupajang di seluruh celah dinding rumahku. Namun sekarang aku malah menanyakan itu semua. Seolah namamu bukan lagi Hugo dan Prana tidak lagi jadi seseorang yang kamu kenal.
Kamu berkata, “Dan terutama karena aku merasa jauh dari ketenangan seiring dengan dekatnya aku merasakan kegagalan yang absolut. Katakanlah jika prospek yang kumiliki di tanganku semakin hari semakin gelap. Sampai pada titik di mana aku tidak bisa melihat masa depan yang bahagia sama sekali.” Kamu terdiam membeku sejenak untuk mengambil beberapa hirup napas supaya tidak tersenggal. “...Sampai di mana aku tidak bisa melihat masa depan secerah fragmen-fragmen warna yang mereka miliki.”
Betul, kupikir. Tidak butuh alasan yang rumit untuk membenci sesuatu jika sejak awal kamu diciptakan sedemikian rupa dan tidak sempurna. Makanya kamu memiliki perasaan-perasaan tidak suka pada suatu hal yang tidak kamu miliki dalam dirimu, dalam seseorang bernama Hugo. Begitu juga ketika kamu menyukai sesuatu. Ketika aku menyukaimu, misalnya. Ketika Prana menyukai Hugo. Sehingga itu membuatku berpikir lagi secara kontradiktif. Aku pikir, kenapa kamu bisa seyakin itu? Padahal setiap goresan yang kamu buat selalu tampak indah dan mudah dikagumi ─ khususnya olehku.
“Jika kamu benar-benar membencinya, kamu bisa berikan itu padaku.” Aku bilang begitu. “Jika kamu tidak bisa mencintai lukisan itu, aku bisa melakukannya untukmu.”
Kamu mendongak, memperlihatkan dua alis yang bertaut heran dan ─ akhirnya ─ memberanikan diri melihat tepat ke dalam dua mataku yang irisnya berwarna cokelat gelap. “Kenapa?” Giliranmu bertanya demikian.
Aku tanpa sadar goyah sedikit akibat angin, tetapi dengan begitu aku bisa melihat lurus ke belakang punggungmu, pada kanvas yang cat minyaknya belum mengering di beberapa bagian dan basah kuyup dan itu mengapa kini lukisanmu sedikit luntur. Kukatakan padamu, “Aku menyukainya, aku suka bunga matahari dan aku mencintai apa yang kamu lukis.”
Alismu bertaut bingung. “Kamu mencintai apa yang kulukis?” tanyamu, “bahkan ini?”
Aku mengangguk. “Aku mencintai semuanya.”
“Tidak, tidak.” Kamu menggeleng gelagapan dan ikut memperhatikan lukisanmu yang sudah acak adul meski masih indah itu. “Aku akan dengan senang hati memberimu, tapi tidak yang ini.” Kamu kembali menatapku, kini dengan sedikit perasaan bersalah. Lalu kamu berucap, “Aku akan melukiskannya lagi khusus untukmu, lain kali dengan goresan yang lebih lembut dan kecil-kecil. Meski itu artinya aku harus berhadapan dengan bunga-bunga ini selama dua minggu penuh berikutnya, meski itu artinya aku harus membeli lagi mahal-mahal cat minyak dari India. …
Dan meski aku sendiri tidak tahu mengapa kamu selalu gigih memberitahuku itu; jika kamu mengapresiasi lukisanku dengan cara mencintainya. Tidak seperti orang-orang lain …, kamu terlalu baik.”
Aku mau tak mau berjengit mendengar tutur katamu. Beberapa orang telah memberitahuku hal yang serupa. Namun entahlah. Pasalnya tiap kali aku mendengar seseorang bicara seperti itu padaku, atau pada orang lain ─ aku tidak bisa tidak bertanya-tanya apa yang membuat orang-orang tersebut sampai mendeklarasikan predikat ‘orang baik’ kepada sesamanya. Sebab itu terdengar seolah-olah hidupmu terlalu menderita sampai-sampai menemukan orang baik adalah sesuatu yang langka dan hanya terjadi beberapa kali selama kamu hidup. Itukah mengapa kamu bersikap seperti ini, Hugo?
Tidak apa-apa, kedipku padamu.
Untuk sebentar aku menyibak helaian rambut yang terbawa hembusan angin ladang. Kemudian aku berkata, “Tidak apa-apa, kalau begitu.” Mencoba menenangkan meski sama sekali tidak membalas ucapanmu sebelumnya. Namun apa peduliku? “Jika kamu merasa aku terlalu baik, maka artinya kamu harus bertahan dan berusaha terus bersamaku. Supaya kamu bisa menemukan orang-orang baik lainnya, Hugo. Lebih banyak daripada yang kamu duga. Lalu kita bisa bersama-sama mencintai lukisanmu — seluruh lukisanmu.”
Karena namaku adalah Prana, dan kamu adalah Hugo. Aku bukanlah seseorang yang anti seni dan keras dan memaksamu melawan ketakutan pada semua hal yang bernama Ayah — ayahmu. Aku juga bukan lah seseorang yang tidak siap mengayomi dan mengasuhmu sehingga tidak layak dinamai Ibu — ibumu. Bukan juga seseorang yang mengkritik mengapa goresanmu besar-besar dan tidak halus dan terlihat seperti sesuatu yang tidak bisa diterima di masa kini, seseorang yang kita namai Orang-orang — orang-orang biadab yang buta enam indera.
Karena aku adalah Prana, dan kamu adalah Hugo. Aku sahabatmu.
Dan ketika bermenit-menit berlalu dihabiskan olehmu untuk menyerap semua kata-kataku; dan ketika senyuman di matamu perlahan kembali seperti Hugo yang kutemui di waktu-waktu bahagia — aku langsung menodongkan tanganku yang penuh, sambil kubilang, “Kubawakan kamu mantel dan payung, karena sebentar lagi akan hujan, dan karena aku tahu kamu sedang melukis di suatu tempat, di sini, seperti hari-hari sebelumnya.”
Saat itu lah senyumanmu akhirnya sepenuhnya kembali. Jadi aku menambahkan, “Lalu kita akan pulang bersama.”
Ya, Hugo, mari kita pulang. Setidaknya di rumah kita tidak harus lagi dituntut untuk selalu sempurna seperti bunga matahari yang Ayah atau Ibu atau Orang-orang yang buta enam indera mau kamu menjadi.
Kan, Hugo? Mari kita pulang. Supaya kamu teringat kembali, jika namamu adalah Hugo. Dan namaku adalah Prana, aku sahabatmu. Sehingga apabila Hugo tidak bisa lagi mencintai lukisannya, maka ingatlah jika Prana bisa melakukannya untukmu. Selalu dan dengan sempurna.
Hey.... Ketemu cerita kamu dari rekomendasi temen Twitter. And all I can say is bagaimana bisa aku langsung jatuh cinta oleh caramu mengenalkan Prana dalam cerita sesingkat ini. Love your work so much🙌🏻
ReplyDeleteWah, halo! Ya ampun, terima kasih banyak karena sudah meluangkan waktu membaca ceritaku dan, terutama, mencintai Prana. Your words just made my day better! :)
Delete