laisse moi mourir.
"Aku baru saja menyaksikan sebuah pembunuhan," kata seseorang dalam cermin.
Brother Sun, Sister Moon (1972) by Hristos
"Aku baru saja menyaksikan sebuah pembunuhan," kata seseorang dalam cermin. "Polisi akan datang memburumu seperti anjing-anjing gila, tahukah kamu?"
Benar, batinku, dan aku sudah tahu—maka berhentilah bersikap sok bijak, brengsek. Memang di kakiku ini sedang terbaring sebuah tubuh penuh seribu luka dan tidak lagi ada denyut jantungnya. Aku terdiam di atas sana, melihatnya tidak berdaya. Namun pertama-tama, kamu harus tahu juga, bahwa aku tidak peduli, kubilang lagi—pada diri sendiri, pada orang yang mati di kakiku itu, dan pada seseorang di cermin—yang terlalu cerewet sehingga napasku menjadi susah payah dan gugup dan penuh ketakutan.
Aku melirik cermin lagi dengan tajam, rupanya dia menatapku balik dengan tidak tahu diri dan langsung saja aku meludahinya. "Menjijikkan sekali kamu," cemooh ku sebal setengah berteriak, menudingnya dengan telunjuk terangkat. "Wajahmu banyak cipratan merah dan rambutmu basah darah. Berani-beraninya kamu membunuh Ibu!"
"Oh, sayang! Kamu lah yang membunuh wanita tua yang lambat dan dungu itu!" Dia dengan dramatis memegang dada, terkejut seperti aktris-aktris papan atas yang sering dia kagumi—oh, orang itu memang suka mengikuti akting-akting payah mereka. Tetapi itu membuatku tambah jijik. Dia lanjut berkata lagi, masih sama dramatisnya, "Kamulah yang suka sekali mengeluh padaku tentang betapa kamu benci ibumu sendiri! Bahkan gaun milikmu lah yang bersimbah darah. Kamu anak yang tidak sopan, memang!"
Aku menggeleng, tidak setuju sama sekali, dan berkata padanya, "Gaunku tidak bersimbah darah—kalaupun iya, itu nanti! Karena akulah yang menyaksikan-mu membunuh ibuku sendiri. Beraninya berbohong, dasar kamu jalang murahan!" Tanpa memperdulikan dengusannya, aku lalu berjalan menuju meja dapur yang tepat di seberang, melangkahi mayat Ibu, untuk mengambil sebuah gelas terbalik dan menuangkan air ke dalamnya dari teko teratai yang Ibu beli dari Timur. Oh, Ibu yang malang, aku melolong iba dalam hati, berani-beraninya orang itu menyayat kulitmu dalam-dalam sampai mati.
Seseorang di depan cermin itu memanggilku. "Aku bisa memberikan kesaksian pada polisi atau inspektur-inspektur atau beberapa detektif partikelir—kalau perlu—dan membuktikan bahwa kamu bersalah," katanya dengan penuh penekanan. Aku masih meneguk air sampai habis, ketika ia melanjutkan, "Dan kamu tidak akan bisa pergi jauh, mau sampai ke Swedia sekalipun. Kamu akan dijerat dalam penjara seumur hidup, atau jika beruntung, kamu akan langsung dihukum gantung. Aku sangat—sangat—membencimu!"
Astaga, demi Tuhan Maha Baik, berisik sekali dia. Kuletakkan kembali gelas untuk dicuci di wastafel. Diam-diam melirik sedikit pada pemandangan luar melalui tirai jendela yang sudah usang. Sambilan merasakan telingaku jadi pengang, karena dia tidak bisa berhenti berisik, dan di luar juga hujan. Waktu kulihat pelataran halaman, permukaannya tampak sangat berlumpur—dan, mungkin saja aku sudah gila, tapi sekilas warnanya merah. Sebelum aku berkedip dan semuanya kembali normal.
"Tidak akan," bisikku, semoga saja dia dengar, "aku akan segera pergi dari sini setelah mencuri uang tabungan Ibu. Namun sebelumnya akan kumatikan kamu pula, supaya kamu tidak asal bicara yang bohong-bohong. Di saat itulah gaunku akan penuh rembesan darah."
Dari balik punggungku, bisa kudengar sesuatu terjatuh dan pecah. Sepertinya orang itu berjalan mundur kaget—atau ketakutan—dan tak sengaja menjatuhkan sebuah gelas dari samping cermin. "Berani-beraninya!" dia berseru dramatis, suaranya gemetar dan serak. Dan senyumku otomatis mengembang pada gelas lain yang sudah kubasuh air sebelumnya.
"Makanya diam!"
Dia diam, menuruti perintahku.
Malangnya, pikirku. Tetapi sebuah senyuman kutarik. Kemudian tanpa bicara apa-apa lagi, dan supaya dia semakin terkejut, aku langsung berbalik badan tanpa aba-aba. Setengah berlari dengan wajah marah dan merah padam pada orang yang masih saja berdiri di cermin itu. Langkahku berdentum-dentum, mulutku berteriak seperti orang gila, lalu tanganku meraih bingkainya dan membanting cermin itu ke lantai—menyebabkannya pecah berhamburan dan membuat beberapa belingnya menembus kulitku. Kini gaunku sudah penuh rembesan darah.
Lalu aku diam.
Orang itu sudah mati, kupikir. Belum mati! Oh, dia memang belum mati. Kupandangi dia sekali lagi di atas bongkahan-bongkahan cermin itu. Dia—orang itu—tergeletak di sana, dengan wajah remuk dan rambut penuh darah, namun mulutnya masih saja menyeringai. Aku sangat tidak senang dengan fakta bahwa dia masih bisa menggerakkan otot mulutnya, jadi aku menginjak wajahnya dengan seluruh energiku yang tersisa dan dia mengerang keras.
Lalu dia sungguhan mati.
"Senang sekali melihatmu begini," aku katakan itu padanya. Tidak ada balasan, karena dia sudah mati. Malangnya, kupikir lagi. Namun aku juga tidak senang dengan itu. Sebab sekarang udara jadi sepi tanpa ocehannya. Tetapi memangnya harus bagaimana lagi—astaga, aku menangis. Mataku tiba-tiba kabur dan menetes airnya dari sana. Lalu napasku menjadi berat dan dadaku kekurangan napas. "Kenapa kamu harus mati?!" teriakku padanya, gemas pada keheningan.
Aku tidak bisa berhenti berteriak histeris, bahkan sampai saat tubuhku tanpa diminta beralih pada mayat Ibu. Di sana aku kembali meraung-raung: "Ibu, ya Tuhan! Demi nama-nama Maha Baik, kuharap kamu kini sudah tenang karena aku telah membalaskan dendammu kepadanya, kepada orang itu. Dan mohonku, maafkan kesalahannya yang sangat kejam padamu itu, Ibu!"
Ibu tidak menjawab. Biarlah.
Jadi aku menghapus air mata untuk sekali lagi melangkahinya dan berlari keluar dapur, menaiki tangga, masuk ke kamarnya yang bau minyak zaitun—memuakkan! Kamar Ibu rupanya tidak perlu kuacak-acak lagi agar berantakan, karena memang sudah tidak beraturan. Namun, toh, aku tetap melakukannya. Ku buka setiap celah lemari bajunya, mengecek di bawah nakas, dibalik-balik koleksi bukunya, sampai kuangkat sedikit kasurnya—dan akhirnya menemukan sebuah amplop tebal berisi 700 dollar. "Banyak sekali!" seruku. Itu adalah tabungan Ibu. Dasar orang tua paranoid yang pelit, dalam hati aku menyumpah serapah. Tetapi kusembunyikan itu dengan senyum manis sebelum mendongak menatap kasur, dan bertanya, "Kuambil, ya, Bu?"
Dengan begitu, aku langsung turun lagi ke bawah. Kembali ke dapur, melangkahi Ibu dan orang itu sekali lagi, untuk mengambil sebuah plastik di rak kabin guna membungkus amplop tabungan Ibu—agar tidak basah. Kemudian aku melipir ke kompor, menyalakannya dengan api paling besar. "Bagus, tetaplah begini sampai aku pergi," kubilang pada api itu dan dia berkobar mengangguk. Lalu setelahnya bergegas keluar melalui lorong panjang yang menyebalkan, untuk meraih pintu dan pergi dari rumah terkutuk tersebut.
Benar, di luar sedang hujan—dan warnanya sekarang sungguhan merah. Aku tertegun sebentar, mendongak ke langit yang semerah bara, merasakan rintiknya menghujam-hujam wajahku seperti dihunus ratusan jarum—menyakitkan. Yang kalau kupikir-pikir, rasanya seperti membalas seluruh dosa-dosa yang telah kulakukan hari ini, yaitu memecahkan cermin dan membunuh orang itu. Ya Tuhan, aku menangis lagi, berani-beraninya kamu memberiku semua ini!
Mungkin Tuhan marah aku berkata begitu. Dia memang pantas sekali untuk marah, karena sesaat setelahnya aku langsung tersedak air hujan. Dan demi nama Tuhan yang sekarang sedang menghukumku, rasa air hujan itu seperti besi, seperti darah—rasa yang paling aku benci, bertolak belakang dengan kue cokelat Ibu yang selalu dibuatkannya untukku ketika aku ingin. Oh, Ibu yang malang. Aku kembali menangis mengingat itu.
Kutundukkan lagi wajahku, merasakan air hujan menghilangkan noda merah dalam pandanganku. "Semua sudah terjadi," helaku berat dan lirih, teredam hujan pula.
Aku hampir merelakan semuanya. Tetapi sayangnya, ketika aku membuka mata dan penglihatanku mulai jelas tanpa bara merah mengganggu, aku malah menemukan seorang pria dewasa sedang berdiri di hadapanku—sejauh lima meter di depan. Pakaiannya seperti seorang birokrat bermartabat, dengan topi fedora berwarna hitam legam. Mungkin dia menemukannya aneh, melihat seorang gadis tersedak air hujan dengan gaun penuh rembesan darah segar dan berantakan, bertolak belakang dengan pakaiannya yang simetris sempurna.
Entahlah, dia hanya melihatku dalam diam, di bawah payungnya yang berwarna hitam se-legam topinya. Meski sepertinya aku tahu persis apa yang sedang dipikirkannya tentangku. Karena dia menatap ke arahku dengan sangat tajam dan dalam, dan—
"Terserah," gumamku jengkel, "Tapi Anda akan menjadi saksi yang menarik perhatian banyak orang. Dan aku akan pergi!"
Jadi aku langsung memalingkan wajah, berbalik pergi untuk pulang dengan bekal 700 dollar. Melalui jalan terjauh yang akan ku tempuh pertama kali sejak aku bernapas di dunia, atau sejak umurku terhitung hidup. Sampai beberapa saat kemudian, ketika aku berhenti sebentar, dan orang di bawah payung itu sudah menghilang; aku bertanya kepada lampu-lampu jalan yang diam saja dan berkedip-kedip, "Katakan padaku, apakah semuanya akan baik-baik saja?"
Mereka serempak mengatakan, "Kami tidak tahu."
Comments
Post a Comment