di hutan kita bermimpi secercah kedamaian
“Bagaimana luka-lukamu?”
“Pedih,” kamu menghela napas susah payah, “dan perih.”
Malangnya, kamu ini. “Sudah saya bilang, seharusnya tidak usah ikut saya kemari,” gerutu saya, meraih lenganmu yang mulai limbung. “Seharusnya kamu ke hujung tenggara bersama ibu bapakmu.”
Kamu merintih sambilan menolak gagasanku. Malangnya, pikir saya lagi. Meski bukan berasal dari sebuah peluru yang ditodongkan orang-orang Putih di pesisir, tetapi luka sayatan di bahumu itu cukup besar─walau tidak dalam. Ketika kita berhenti sebentar di sebuah pohon eboni yang daunnya sudah banyak menemui ajal, saya perhatikan baik-baik tetesan darah kering dari garis tanganmu. Baunya menyengat sangat ironis. Dari manakah asalnya itu? Seseorang pasti sengaja melakukan itu padamu. Hasil dari sifatmu yang keras kepala menjaga tanah kelahiran. Kita semua harus bedegap menjaga, kekeuhmu. Tetapi bahumu kini terluka, serta pijakanmu kini rata, rumput-rumput di padang menanduk layu, dan sorak-sorai tidak lagi jadi makmur. “Seharusnya kamu pergi ke hujung tenggara bersama ibu bapakmu,” ulang saya.
Satu antuk kamu limbung lagi. Sebelum berkata, “Duduklah di sini sebentar.”
Saya bernapas gugup, gelisah. Rupanya kamu masih saja pribadi yang keras kepala, padahal bahu sudah setengah terkoyak. Masalahnya, kita tahu betul tidaklah aman untuk membuang-buang waktu di tempat terbuka begini. Memang pada dasarnya kita berdua sama-sama merupakan Orang Bertahan. Itu adalah basis pengetahuan pertahanan, asumsi saya. Namun di sisi lain, kini kamu tampak lelah dan tidak berdaya dengan pundak berdarah.
“Lima menit,” peringat saya akhirnya, mau tak mau, “dan kita akan kembali bergegas.”
Di sebelah saya, bersandarkan batang eboni yang daunnya mulai menguning dan tinggal menunggu ajal, kamu mengangguk patuh, terkekeh. Aneh. Kenapa kamu ini? Hampir saja saya menyahuti kekehanmu, tetapi tampaknya emosi yang satu itu bukanlah sesuatu yang ingin kamu jadikan candaan. Sebab matamu kini tampak sama matinya seperti daun-daun eboni yang sudah membusuk di tanah, bertolak belakang dari mulut yang menyumbangkan tawa. Sebab itu juga mengingatkan saya pada suatu malam sebelum September di depan perapian rumah saya, ketika tahu-tahu kamu datang dan tawa melankolis itu menguar. Lalu gantian dendammu, yang mengutuk para Putih dan tetek-bengeknya karena mulai menghancurkan rumah─rumah-rumah kelahiran.
Kelahiranmu, bukan kelahiran saya.
“Maaf─”
Astaga. Perkataan itu mengusik rungu saya sampai sakit hati. Ketika saya menoleh, mata kita bertemu. Lihat, lihat itu matamu. Terlihat tragis. Sampai saya bisa melihat seluruh kesedihan menyusun tiap jengkal tulang punggungmu. Punggung yang getir, yang menyimpan sejarah perlakuan perlawanan. Malangnya, kamu ini. Tapi siapakah yang bisa membuang sejarah? Sayangnya, bukan saya, bukan kita.
“Maaf,” ulangmu, “Aku tidak bisa melakukan banyak agar kamu bisa diterima orang-orang─”
Saya berjengit menunggumu lanjut bicara, tapi tak kunjung juga. Ucapanmu tidak berlanjut? Mengapa? Mengapa pula meminta maaf? Mengapa pula kamu menatap saya dengan bersedih dan berkabung dan menyesal?
Mengapa-mengapa itu lalu menjalar seperti akar pada kejadian-kejadian lalu. Sebelum September, dunia memang sudah kacau sekali. Tetapi ketika bulan berganti, tahu-tahu bara merah telah merajalela di mana-mana malam itu. Sebuah tas punggung berisi seluruh identitas segera saya sambar, beserta mental yang saya paksa sumpal ke dada. Ketika saya lirik jendela, seluruh pijakan sudah merata, rumput-rumput di padang menanduk layu, dan sorak-sorai tidak lagi jadi makmur. Serta semua orang telah pergi ke tenggara. Kecuali kamu.
“Hendak pergi kemana?” Tanganmu sudah menangis darah semalam, airnya menetes-netes di undakan antara pintu dan teras rumah. “Hendak pergi kemana? Aku ikut denganmu.”
Jawab saya, “Ke tempat di mana saya tidak bisa ditemukan.”
Lalu sebelum sempat bertanya apapun tentang pundak yang terluka itu, kamu menarik lengan saya. Lalu kita segera berlari, berlari jauh sekali, sampai napas hanya sisa seujung telunjuk. Tetapi kita terus berlari tanpa henti, penuh perlawanan. Bedanya, saya berlari dengan rasa takut dan kebingungan tentang mengapa kamu malah berlari bersama saya. Sehingga sepanjang pelarian itu, benak saya berteriak satu hal yang sama terus menerus: ‘seharusnya kamu pergi ke hujung tenggara bersama ibu bapakmu.’
Ironis. Meski kemudian saya tidak tahu, siapakah yang lebih ironis di antara kita berdua? Mungkinkah itu saya, atau kamu? Atau sebenarnya takaran ironis yang saya miliki tidak seharusnya dipakai lagi untuk mengukur semurni apa senyum-senyum yang kita layangkan untuk menenangkan satu sama lain. Sebab semua itu palsu, barangkali. Sebab sesungguhnya apalagi yang tersisa dari kita memangnya? Jika seluruh daun-daun eboni telah jatuh berguguran dengan penuh penghormatan dan kita tidak lagi tahu ke mana arah jalan pulang menuju rumah yang tidak lagi maujud.
“Hei, lihat gereja di sana?”
Lamunan saya buyar seketika dengan hati yang mencelos, tidak lebih baik sama sekali daripada sebelumnya. Saya mengangguk, melihat ke arah yang kamu maksud. Gereja itu menjulang di atas pucuk pohon-pohon eboni yang rimbun. Gereja yang tua dan terpencil. Sudah jelas, tidak ada lagi yang pernah ke sana sejak orang-orang Putih mulai berdatangan. Saya melirikmu lagi. “Kamu yakin?” saya bertanya. Sebab sudah seharusnya kamu merasa enggan untuk─bahkan─melirik bangunan religius itu. Bukan tempatmu di sana. Bukan tempatmu pula untuk rehat, bahkan untuk sejenak saja. Lantas, mengapa?
Suaramu yang parau menjawab, “Jangan pikirkan aku.” Kamu menghela napas, menyeringai getir. “Kita bisa ke sana untuk bermalam, melindungimu.”
Bagaimana caranya itu? Bagaimana caranya untuk tidak memedulikanmu? Sementara kamu di sini, berdiri di garis terdepan semata-mata untuk menjaga seorang gadis yang tidak punya orang tua dan berdarah setengah Putih macam saya? Dengan bahu yang terkoyak pula?
"Kamu tidak perlu meminta maaf," ucap saya, mulai merasakan gejolak emosi perlahan-lahan menohok kerongkongan saya. "Kenapa kamu meminta maaf tadi?"
"Sebab—"
"Kamu kasihan pada saya?"
"Ya," jawabmu pelan. Itu membuat punggung saya menegak otomatis. Hampir meledak amarah saya. Jika saja kamu tidak lanjut bicara, "Karena tidak diterima oleh kedua darahmu sendiri adalah perasaan yang tidak menyenangkan. Setidaknya kalau aku bersamamu, kamu merasa kalau kamu adalah bagian dari kami juga. Bagaimanapun, kamu memang bagian dari kami."
“Saya takut hanya kamu yang berpikir begitu.”
Senyuman tertarik sedikit di wajahmu yang sepucat tahu dadu. Lantas kamu berucap, “Maafkan aku. Mereka hanya terlalu dibatasi darah yang mengalir dalam tubuhmu, padahal merahnya sama saja legamnya.” Kamu memberi jeda untuk bernapas satu tarikan dengan lamban. Setelahnya kamu melanjutkan, “Makanya, biarkan aku lari bersamamu.”
Saya pikir, inilah gilirannya untuk saya berbicara. Jadi saya sahut tangan kananmu yang bahunya baik, meremasnya sambilan berusaha menyalurkan sedih dan harapku. “Dengar,” saya bilang, sepenuhnya menghadap padamu, “setelah mengganti perban lukamu, makanlah sedikit lagi, lalu kamu akan sempat untuk menyusul ibu bapakmu ke tenggara. Pundakmu terkoyak, tidak ada lagi yang bisa dipikul─badanmu sendiri sekalipun. Saya tidak mau kamu mati.”
Kamu tersenyum kecut, setengah meringis. Sungguh itu membuat saya makin cinta. Tetapi sepenuhnya saya berharap kamu akan menuruti saya kali ini. Sayangnya, kamu malah berujar, rendah dan berat: “Aku akan tetap mengikutimu. Walau sampai ke Sentral sekalipun.”
Saya sudah mengira, sudah menduga. Hampir meledak lagi amarah saya, karena masih saja kamu keras kepala. Padahal itu adalah kesempatan terakhirmu untuk berubah pikiran dan bangkit berbalik badan. Namun, untuk apa? Jika marah itu penting sekarang ini, sudah saya lakukan sejak tadi. Lagipula kamu ini memang keras kepala tidak ketulungan.
“Mengherankan sekali, dasar kepala batu. Tetapi, rasanya kamu tidak perlu meminta maaf.” Saya berpaling ke depan, lurus pada puncak gedung gereja yang menjulang. “Malah seharusnya saya berterima kasih. Namun,” saya balik melihat ke arahmu, melirik luka di balik perban di pundak, “membahayakan nyawamu dengan berlari bersama saya bukanlah sesuatu yang saya sukai. Saya tidak mau kamu mati, atau terluka bahkan se-senti pun.”
“Omong kosong,” gerutumu, “luka begini tidak akan membuatku mati.”
Maka tanpa memedulikan pandangan sangsi saya, kamu mulai bangkit berdiri tanpa gestur hendak berbalik badan. Untuk sebentar, sebentar saja, saya merasa tersanjung. Tapi wajahmu meringis lagi, sekarang tampak lebih pucat daripada potongan tahu, dan tangan kirimu terkulai lemah─pasti rasanya menyakitkan, ya? Seharusnya kamu pergi ke hujung tenggara bersama ibu bapakmu.
“Sudah, sudah,” sanggahmu, mengedikkan kepala ke belakang seolah bisa membaca pikiran saya.
“Dasar, kamu ini. Sudah malang, keras kepala pula.”
Kamu berdecak, melafalkan ayo tanpa suara. Isyarat itu membuat saya melirik puncak gereja lagi. Membuat saya menghela napas pasrah. Jadi saya ikut bangkit berdiri untuk menyusuri celah-celah pohon eboni yang sangat tidak beraturan─yang penting mengarah pada arah yang benar. Di sepanjang jalan, kita tidak bicara. Kali ini, saya bersikeras untuk memapahmu. Sejak itu pula kamu jadi menggerutu terus─tapi, toh, tidak menolak papahan tangan saya. Aneh kamu ini, saya pikir. Sudah malang, keras kepala pula.
Papahan tangan itu baru terlepas ketika pintu gereja yang menjulang sudah berdiri di depan kaki kita, bertepatan dengan langit di ufuk Barat yang mulai bergradasi semerah pundakmu. “Diam saja, biar saya buka pintunya sendiri,” perintah saya, dan kamu mengangguk. Saat pintu dua daun itu terbuka, saya sempatkan berbalik padamu, seraya bertanya, “Kamu yakin? Kamu sungguh yakin dengan ini?”
“Kita akan lari bersama seterusnya setelah ini, tidakkah kamu ingin berdoa pada Tuhan-mu barang sebentar saja? Untuk setidaknya membawa bekal kedamaian yang bisa dibawa lari kemudian?”
Saya menggigit bibir. “Ya,” jawab saya, “tapi saya tidak keberatan untuk berdoa di mana saja. Tidakkah kamu justru merasa penuh kebencian jika berada di sini barang sebentar saja?”
“Jika itu adalah sebuah masalah bagiku, aku tidak akan lari jauh-jauh bersamamu sampai ke sini, hanya berpijak setapak yang entah akan membawa kita kemana, sebab aku sama ragunya denganmu. Bahkan dengan bahu yang terluka pula.” Kamu mendengus geli, tapi serius juga di saat bersamaan. “Kamu tahu itu, bahwa ketuhanan bukan segalanya buatku untuk menilai baik buruk seseorang. Kamu tahu itu─kamu tahu, bukan?”
Saya pikir, ya, sepertinya saya cukup tahu itu. Dan memang benar-benar kamu ini, sudah malang, keras kepala pula. Namun sebenarnya, itulah yang saya suka darimu. Sehingga itu membuat saya berpikir lagi, mungkin sebenarnya takaran ironis milik saya memang tidak sepatutnya dipakai, namun bukan karena daun-daun eboni telah banyak mati-mati di tungkai, sebagaimana yang saya kira sama persis dengan matinya senyum-senyum palsu yang kita layangkan. Tetapi semua itu justru kebalikannya. Saya pikir sekali lagi ketika kamu memandangi saya dalam diam kemudian, sudah saya duga, kamu juga sudah tahu itu.
Maka saya layangkan sebuah senyuman lain untukmu, sebelum mengangguk dan melangkah mundur, membiarkanmu mulai berjalan menuju bangku terdekat dengan tertatih lalu duduk di sana. Kamu lihat, gereja itu selapang sebuah padang, membuat matamu ke sana kemari sampai pandangmu gayang. “Bagaimana luka-lukamu?” saya tanya. Namun kamu malah memutuskan untuk memejamkan mata, karena semakin pening serta karena ada sebuah dorongan untuk tidak perlu menjawab lagi. Hampir saya pikir, kamu mau mati. Tetapi ternyata, itu sebab dalam hati kamu tahu, jika semuanya akan baik-baik saja, asal kita bisa mencintai diri sendiri.
Sehingga saya tidak lagi merasa keberatan, ketika dengan sesimpul senyuman murni lainnya, kamu malah bertanya, “Di mana menurutmu kita akan berada setelah semua ini berlalu?
ooooo bangsat gini katanya nggak sedih hah nggak sedih mbahmu
ReplyDeleteAmpun bwang (╥﹏╥)
DeleteU-uh T_T
Delete