Sweet Night at Haven Lea

Are you here with me? Just looking out on the day of another dream.


Ehime Prefecture │ 魚吉について

Semalam aku bermimpi kamu berdiri di hujung tebing. 


“Di bawahmu lautan memucat biru, di atasmu langit sewarna ungu.”


Di sana kamu memejamkan mata sebab angin-angin ramah senang sekali membelai wajah dan helai suraimu. Sementara dalam hati aku membatin, jika aku adalah seorang hamba yang sungguhan alim, maka akan dengan mudahnya aku bersumpah demi nama Tuhan yang Maha Suci, bahwa dalam hidupku yang umurnya masih pendek ini, belum pernah kutemukan pemandangan seapik dan seciamik itu yaitu kamu. Kukira angin-angin ramah juga setuju, sebab mereka memberanikan diri untuk berbisik, bahwa kamu sejatinya tidak pantas menjadi salah satu dari bahtera-bahtera yang tersesat di samudera. Mereka bilang bahwa mata legam dan senyum simpulmu terlalu berseri, sampai-sampai ketika kita mendongak, rasi bintang menolak menunjukkan kita jalan pulang menuju rumah. Kalau sudah begitu, bagaimana jadinya jika manusia-manusia macam kita sungguhan berubah menjadi bahtera-bahtera yang tersesat? Rasi bintang sudah pasti marah besar, meski aku tidak akan merasa keberatan. Sebab di lautan ada banyak kapal berlayar ─ dan bukannya kita sama saja tersesatnya?  


Namun satu hal yang harus kamu tahu tentang angin-angin ramah itu, tidak sepantasnya mereka berhak dipercaya. Sebab sejatinya mereka adalah pendusta. Sebab di sudut stasiun Luksemburg yang tua dan bersejarah, tempat kita bertemu setiap sore, tidak ada angin-angin ramah yang rela membelai wajah lusuhmu, tidak ada pula lautan yang memucat biru, pun langit yang dilukis ungu. Pada akhirnya, semua kenyataan itu membawa kita kembali kepada bahu-bahu kokoh yang dibalut iba. Apalagi kalau bukan kita, manusia-manusia, dan bukan bahtera-bahtera, yang tersesat di bumi Tuhan. 


Begitu pula yang kamu ucapkan padaku dulu, bahwa bumi Tuhan ini dipenuhi ribuan  dusta pada setiap hembusan napas yang kita hirup, sampai membuatnya terdengar serak dan tidak lagi murni tuturnya. Namun terlepas dari kebohongan-kebohongan itu, pernahkah ─ setidaknya sekali saja ─ kamu percaya bahwa di Bulan, selain anjing-anjing mungil bersayap, naga-naga putih, serta Lelaki-di-Bulan tidak bernama yang kerjanya meramu mimpi ─ juga terdapat banyak anak kecil yang tenggelam dalam bunga tidur mereka sampai hilang arah? Benar juga, itu mengingatkanku di suatu waktu di mana kamu pernah menanyaiku hal serupa: “Kalau manusia-manusia sebenarnya adalah sebuah mimpi, dan bukan bahtera, maka bunga mana yang akan kamu mimpikan tentangku di kala tidurmu yang dilelap kecap-kecap manis bekas gulali?”


Semalam aku bermimpi kamu berdiri di hujung tebing. 


“Entahlah,” jawabku, “Purslane ungu, barangkali.”


Di bawahmu lautan memucat biru, di atasmu langit sewarna ungu.


Tetapi lihatlah, lapang peron Luksemburg tempat kita duduk bersisian sore itu. Gemeretak lantainya terdengar jauh lebih sepi daripada sebelumnya. Hingga heningnya melantunkan kesedihan bagi musikus jalanan yang terduduk sama tersesatnya seperti kita di ujung sana. “Kukira sampai kapanpun, kamu tidak akan pernah mau percaya hal-hal seperti itu,” tukasku. Kamu tersenyum simpul, masih sama bersinarnya seperti yang diungkapkan angin-angin ramah. Begitulah kamu sebagai persona yang tersesat; matamu terlalu legam, dan senyummu terlalu simpul. Mungkin angin-angin ramah tidak sepenuhnya berbohong tentang bintang-bintang Luksemburg itu, pikirku. Hingga mau tak mau kulayangkan lamunanku pada ingatan mengenai sisi-sisi tergelap di Bulan, di mana serbuk-serbuk cemerlang beterbangan mengitarinya di angkasa. Sambilan ditunggangi Tuhan untuk mengantar partikel-partikel alam semesta ke tempatnya masing-masing.  Ke mana itu, aku tidak tahu. Bagaimana denganmu? Tahukah kamu, ke mana kereta-kereta ini akan berpulang? 


Semalam aku bermimpi kamu berdiri di hujung tebing. 


“Menuju Haven Lea, mungkin,” kamu bilang. 


Di bawahmu lautan memucat biru, di atasmu langit sewarna ungu — ke sanakah tempatmu berpulang?


Sebab pada sore itu pula, aku kira aku melihatmu berdiri di gerbang peron dengan setangkai purslane sewarna lembayung di genggaman. Di situ matamu masih selegam kelam, senyumanmu masih sama simpulnya sebagaimana kamu mempercayai mimpi-mimpi tentang Bulan dan anak-anak hilang arah dalam bunga tidurnya. Kamu berucap tanpa suara, melafalkan, "Kemarilah". Kemudian tanganmu terangkat, menyodorkan setangkai purslane ungu itu padaku. Namun ketika aku berkedip sekilas, burung-burung dermaga Luksemburg tiba-tiba berterbangan dari tempatmu berdiri. Mereka meninggalkan sayap-sayap berjatuhan bak malaikat yang memutuskan untuk pergi. Seiring senandung serenade[1] membuai runguku dari ujung ke ujung. Dan sesaat setelah semua terlihat lebih jelas, mengapa kamu malah tidak bisa kutemukan lagi? 


Ketika aku menunduk, lenyap pula bunga purslane dalam genggamanku. Sehingga pertanyaanku hanya tersisa satu ─ hei, bunga mana yang harus kuberikan padamu jika sebenarnya dalam hidup ini aku tidak pernah bermimpi?



Tulisan ini dibuat pada 20/10/2020 untuk KTH.

─ Regards, g_elamouré




Comments

  1. BANGSAATTT KEBAYANG BANGET KATEHA AAAAA HALO POLISI

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hiks why are you so kind. Now i'm going straight to your blog and spitting lots of love to there (╥﹏╥)

      Delete

Post a Comment

Popular Posts