The Man of Ulysses

Figured out a way, a pioneer put a man into orbit; watch him as the fire disappears.




“Apakah kamu mendengarnya juga? Sayup-sayup suara sihir itu bergema sepanjang malam di saat kita semua terlelap.”


Dulu, untuk pertama kalinya, kamu yakinkan aku bahwa suaranya seperti gemerincing giring-giring dokar yang seringkali membawa langkah kita melayang bepergian dari satu mimpi ke mimpi lainnya. Sementara itu, harum sihir selalu manis dalam penciumanmu. Kamu ungkapkan itu persis seperti saat kamu mengatakan bahwa kamu menyukai panekuk-mu disajikan selayaknya ubin aula sehabis pesta tahun baru—penuh confetti.


Kupastikan sekali lagi, “Seperti panekuk confetti?”


Kamu mengangguk, bergairah sebab akhirnya ada seseorang yang tahu bahwa nyatanya kamu pun punya bakat sendiri. Maka dengan cengiran lebar, segera kamu raih lenganku, mengajakku bepergian bersama euforia memenuhi rongga jantung untuk mencicipi harum sihir itu. Benar kamu, baunya seperti panekuk confetti. Meski tetap saja kupikir, aneh sekali kamu ini. Namun, di sisi lain aku bersyukur pula. Sebab itulah caranya agar bisa kukenali ia sebagai kamu, yaitu Vante umur 19 tahun yang gemar melamun di bawah rerimbun alpine di lapang Timur. 


Walaupun harus disayangkan, sepertinya Tuhan tidak memberkati keabsahan untuk menjadikanmu hambanya yang mudah diterima─atau dianggap waras, setidaknya. Kurasa Dia seharusnya minta maaf padamu soal itu. Sebab di dalam bangunan panti yang menjadi rumah kita selama beberapa tahun ke belakang, pun kamu terus saja dinasihatkan: “Vante, berhentilah bersikap seakan-akan kamu tidak punya sesuatu yang normal untuk dikerjakan. Kamu ini lelaki apa bukan?” Padahal lelaki tidak seharusnya dijadikan sebagai satu-satunya patokan normalitas seseorang berperilaku.


Aneh sekali di sini, kamu pikir─kita pikir. Mungkin Tuhan memang melakukan kesalahan menempatkanmu berkeliaran di bangunan panti yang dicat biru, di mana sihir-sihirmu yang harum tidak layak hidup. Sebab kita tahu sendiri─sebagai saksi yang masih hidup, kita selalu menghitung peri-peri tragedi yang terbawa masuk seiring orang datang dan pergi di tempat ini. Hitungannya selalu runyam dan sedih. Tidak ada cocok-cocoknya dengan kilau sihirmu. Tapi biarlah, yang penting ada kamu, kamu bilang.


Itu pula yang membuatmu selalu merapalkan doa agar tidak ada salah satu dari kita yang akan dipungut oleh sebuah keluarga, bangsawan atau tidak─tidak keduanya. Menurutmu, menghabiskan waktu sebagai sesuatu yang tidak berguna menjadi tidak masalah, asal dilakukan bersamaku. Meski aneh─kenapa pula harus berdoa? Padahal kamu tahu sendiri bahwa umur kita sudah terlalu tua untuk menjadi anak manis di depan orang asing yang pura-pura jadi Ibu dan Ayah. Satu-satunya yang akan memisahkan kita adalah suruhan untuk memenuhi panggilan militer buatmu, sebab kamu sudah cukup umur untuk jadi seorang lelaki mengabdi. Aku tahu, kamu tidak pernah senang jika diingatkan perihal panggilan itu. Kamu menjadi resah, tiap kali membayangkan suara ledakan dan bau gosong yang tidak akan pernah kamu gemari sampai kamu mati sekalipun.


Makanya aku tidak heran, ketika suatu pagi beberapa hari lalu, kamu memasuki dapur dengan perasaan tidak senang yang serupa. 


"Siapa, sih, dia?" semburmu, sembari duduk di kursi dengan serampangan. Seseorang pasti habis menegurmu soal panggilan militer itu, aku yakin.


Kemudian aku yang sudah hafal betul siapa orangnya, menjawab, "Yang jelas, Vante, dia adalah penasihat panti kita. Dan kamu tahu sendiri, kan, bagaimana karakternya? Terutama karena dia dibesarkan oleh sanak saudara keturunan Kanada. Meski begitu, kurasa kita harus tetap menghormatinya sebagai—" 


"Pembohong, dia itu!" tukasmu geram, membuatku hampir terjengkang. Dari sini kulihat matamu berair, dan merah, dan bergetar bulu matanya. Aku menduga-duga lagi, apakah aku salah bicara? Atau apakah orang itu yang salah bicara dan terlalu keterlaluan? Yang manapun itu, aku harus menagih pertanggung jawabannya karena telah membuat panekuk di meja tidak lagi terlihat lezat. Lantas kamu letakkan garpu dengan tidak sabaran, seraya melanjutkan, "Lalu bagaimana denganku? Sebatas mana definisi mimpi yang dipakai orang-orang tua macamnya itu untuk mengarahkan hidupku?"


"Dengar, aku yakin bukan begitu maksudnya."


Kamu pandang aku dengan sengit. "Dan?" kamu bilang. Dan apa? "Ah, sudahlah," terusmu, "memang selalu begitu kamu. Tidak pernah mencoba berusaha merubah bersamaku. Kenapa kamu ini? Hanya diam, dan menurut. Persis macam wanita-wanita yang cuma bisa menunduk di kaki suaminya."


Barangkali perasaan tersinggung lebih ditunjukkan oleh air wajahku dibandingkan kebingungan yang melanda akan perkataan kurang ajarmu itu. Sampai-sampai ketika melihat ke arahku, kamu otomatis mengucapkan, "Maaf." Dan menghela napas. "Kita bicara lagi besok."


Malam itu, kamu berangkat tidur dengan cemberut. Langkahmu berat dan marah. Sementara aku hanya bisa terdiam. Meski aku sepenuhnya menolak gagasan bahwa aku akan sama menurutnya pada lelaki jika aku adalah wanita yang sudah menikah─kalau kelak aku bersedia menikah. Sejujurnya, aku berharap kamu tahu itu lebih dari siapapun. Bahkan lampu gantung di atasku tahu itu, dan juga mengaku sama kecewanya padamu. Barangkali kekecewaan kami terlalu besar, sampai-sampai mereka datang kepada kedua bahumu yang tertanduk kaku. Sebab kamu menyempatkan berbalik sejenak sebelum memasuki kamar tidur yang menguar aroma sihir dari dalamnya. Dan asal kamu tahu, harumnya sampai pada penciumanku─manis, seperti confetti. Namun aku pun langsung berbalik badan. Alih-alih menikmati harumnya, kukibas aroma sihir itu, kemudian bergegas pergi untuk menelan kekecewaan sendirian.


Pergiku baru dua langkah ketika terdengar suara click pelan dari balik punggung. Mungkin itu dari pintu kamar yang kamu kunci, mungkin juga bukan. Aku tidak tahu pasti. Yang kutahu pasti hanyalah bahwa kita meninggalkan panekuk confetti terbaring di meja tidak termakan sampai mati kedinginan. Yang kutahu pasti hanyalah, bahwa sihir-sihirmu pun ikut mati sejak saat itu sampai gemerincingnya tidak lagi pernah terdengar. 


Coba jawab aku, apakah orbit di sela-sela asterisme senyaman itu buatmu?




Comments

  1. NOOOOO THIS WAS SO PRETTY BUT THE ENDING NOOO TAEHYUNG DONTTT PLEASE BE HAPPY WE CAN START OVER AGAIN

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts