when the sea sings in monochrome

gleaming, twinkling, eyes like sinking ships on water. so inviting, i almost jumped in.

 

Tom Squires ─ #nikonosproject


[ ]

Kita seringkali salah mengira bahwa seluruh hamparan lautan berwarna biru. Barangkali benar begitu. Namun kepercayaanmu bersikeras berkata hal lain; bahwa mereka itu aslinya sewarna abu-abu. Seperti hari-hari di mana kamu terbangun dan menemukan duniamu penuh debu sampai tidak lagi ada seorangpun yang bisa diajak bicara, pun tertawakecuali aku. Kelabunya juga serupa nuansa kabin di belakang rumah tempatmu mengasingkan diri dengan menyalakan sebuah lilin di malam hari, untuk kemudian kamu pakai menulis bait-bait semanis gulali soal kehidupan yang terlalu pahit untuk dikecap oleh seorang manusiaapalagi kalau itu kamu. 


“Mereka itu sama pahitnya seperti rasa lautan yang paling pekat asinnya.” Begitu kamu bilang, di suatu malam waktu aku berkunjung untuk membagikan gula kapas dari pasar malamyang kemudian kita lahap bersama-sama sambil mencoba menafsirkan konstelasi yang tidak terbaca karena tak ada satupun dari kita yang paham soal mereka. Meski begitu, kurasa seharusnya kamu tahu, jika gulali tidak pernah terasa semanis itu sejak disantap bersamamu. Saking manisnya, kuharap sampai mampu menyembuhkan lidahmu yang mati rasa karena asinnya lautan yang kamu teguk. Ah, kuharap suatu hari aku bisa memberitahumu soal itu, supaya bisa lebih manjur doanya terkabul─kalau-kalau saja Tuhan tiba-tiba berbaik hati.


Sayang seribu sayang, ke mana, ya, keberanianku berlari? Sepertinya mereka bersembunyi, mati dan ketakutan dan sudah membusuk. Mungkin benar begitu, tapi─tidak, tidak, aku baru ingat bahwa kamu pun sebenarnya juga sama ketakutannya. Namun, kamu ini berbeda, kamu tahu? Kamu ketakutan, tetapi konstelasi yang terajut dalam kedua bohlam matamu berpendar lebih terang dari kota Tupelo di Mississippi sana. Hidup memang sialan, siapa yang tidak setuju? Jangan tidak setuju, ya, apalagi kalau itu kamu. Masa kamu sudi?


“Aduh,” kamu mengeluh sambilan tertawa geli, “kamu ini, khawatirkan saya terlalu sering.”


“Habis, mau bagaimana lagi?”


“Bagaimana apanya?”


“Saya terlalu sayang kamu.”


Ah, lagi-lagi mata secemerlang Tupelo itu berkelit pergi. Kenapa, ya? Kenapa begitu? Kenapa orang dan relasinya membuatmu ngeri sendiri? Bahkan jika itu aku, seseorang yang sudah mengaku percaya sampai menyayangimu, masih saja membuatmu takut. Memangnya aku berduri? Memangnya waktu kamu bertanya, “Bagaimana rasanya berkeliaran di pasar malam?” Apakah aku menjawab bahwa aku sehabis membunuh orang? Kan, tidak? Hidup ini memang sialan, sayang. Namun, sangat disayangkan pula, kalau kamu masih saja begini. 


Ya, sudah, kujawab saja: “Kalau mau tahu bagaimana rasanya, mari ikut bersama saya besok. Mari kita naiki komidi putar dan memborong gulali. Ah─tidak, tidak, jangan menggeleng dulu! Sebungkus gulali? Dua bungkus gulali? Bagaimana? Mau, kan?”


Lalu kamu hanya tertawa, membahas tentang bagaimana aku ini keras kepalanya minta ampun. Padahal kamu hanya perlu berefleksi, sampai akhirnya sadar sendiri kalau keras kepalaku ini sama denganmu. Ah, tapiya, sudah. Kamu menyerah dan mengangguk setengah hati, walau dalam hati kuyakini kamu diam-diam senang diajak pergi ke pasar malamapalagi bersamaku. “Mari kita ke pasar malam,” katamu, tapi tertahan di kerongkongan. Tenang saja, aku juga begitu, kok. Asal kamu tahu, bersama gelak tawa penuh doa yang kulantunkan dalam kabin kelabumu, pun ada ungkapan yang harus kutelan sendiri karena bayarannya mahal. Kamu sadar tidak, ya?


“Uh, bagaimana kalau saya jemput kamu menjelang sore?”


“Menjelang sore... selagi lautan masih membiru?”


Kamu mengangguk. “Selagi lautan masih membiru.”


Begini, sayang. Jangan takut terlalu sering. Sebab siapa nanti yang merayakan malam bersamaku kalau tidak ada kamu di kabin? 



[ ]

Bagaimana, ya? Aku sebal, sialan. Rupanya kamu tidak sadar sama sekali.


Padahal sudah kubatinkan, sudah kupertanyakan: siapa nanti yang merayakan malam bersamaku kalau tidak ada kamu?


Kamu ini bagaimana, sih? Coba bayangkan bagaimana perasaanku waktu tahu-tahu keesokan harinya disambangi Paman yang berkata, “Lautan telah berwarna kelabu malam ini.” Lalu di situlah kamu, terbaring di atas tandu lipat yang sudah usang. Mulut membiru, mata meredup─macam bahtera tenggelam dimakan Laut nakal yang senang merebut hembusan napas di daya-daya barat. Tahu tidak? Dukanya sampai kemari. Sampai berani aku bersumpah bahwa oksigen tidak pernah terasa sepahit itu kukecap. Sampai berani aku menebak-nebak: inikah rasanya kematian? Atau justru kehidupan?


“Sepertinya dia habis dipukuli habis-habisan, entah oleh apa─yang jelas benda tajam.”


Kuperhatikan luka-lukamu yang sakitnya ikut menyayat hati sampai berdarah. Pekatnya membuatku mual. Meski dari jauh masih dapat kudengar samar-samar Paman berbicara. “Malang,” dia berujar dengan gugup, “aku menduga luka-luka begini bahkan tidak bisa disembuhkan oleh mereka yang belajar kesehatan.” Apa, sih, maksudnya? Lalu bagaimana? Paman menggeleng saat melihatku, topinya dilepas dan digenggam dengan menyilang lesu. Kurang ajar sekali sikapnya. Aduh, tidak apa-apa, kan, kalau aku menangis? Karena lihatlah, orang tua itu membuat air mataku jadi menetes dan membasahi gaun cantik yang kukenakan. Padahal, seharusnya kujaga gaun ini agar tetap licin tanpa noda sebab kamu sudah berjanji akan menemaniku ke pasar malam hari ini untuk menaiki komidi putar.


Sialan, sialan, sialan.


Hei, dengar tidak? Padahal, seharusnya malam ini kita pergi ke pasar malam dan menaiki komidi putar! Apa? Aku benar, kan? Kamu sudah berjanji! Kenapa kamu malah belum bangun? Menyebalkan, kamu tahu? Sebab ini sudah kesekian kalinya kamu membuatku menangis. Maka cepatlah berdoa agar Tuhan mau menerimamu tanpa cela. Mumpung sempat; mumpung napasmu masih ada sisa seujung telunjuk. Mumpung malaikat-malaikat di sebelahmu masih mau menyampaikan belasungkawa dan mendoakanmu agar semoga subur tulang punggungmu di kubur. 


Meski begitu, aku tetap sebal. Karenamu, mulai dari hari itu, lautan tidak pernah lagi mau membiru—terutama jika ada aku. Dan andai saja kalau aku tahu apa yang akan terjadi, mana sudi aku biarkan kamu berpaling begitu saja tanpa sempat mengumandangkan gema selamat tinggal. 



*


Ditulis sejak pertama kali mendengar lagu Blue & Grey di album BE, tapi baru bisa diselesaikan hari ini karena bingung. Bisa dilihat dari ending-nya yang jadi begini…. Well, what to do. I love murderning men.

Comments

Popular Posts