Look at How His Eyelids Sleep in Suburban Dreams




“Selamat tidur, Vante.”


Hm? Aduh, siapa, ya, tadi? Namamu?


Tidak ingat, aku mengantuk─tunggu, jangan. Jangan dulu. Mari buka mata sebentar, karena kita belum boleh mati sekarang. Aduh, Tupelo pasti sudah dikecup-kecup salju sampai membiru dan lelah sendiri. Sebab aku mulai merasakan ujung jemariku mati rasa dan tidak ada yang mau mengaitkan tangan dengannya. Tidak ada pula pendar lampu yang bisa menghangatkan, walau sedikit saja, walau dari jauh. Di mana aku bisa mencari lampu? Mana lampu-lampu Tupelo yang diagung-agungkan satu dunia sebagai saksi sejarah itu? Aduh, tidak ada lampu! Kenapa bisa? Aduh, kalau begitu, bisa pinjamkan tanganmu untuk aku tautkan dengan tanganku barang sebentar saja?


Oh, aduh, rupanya tidak ada orang di sekitar sini, ya?


Kenapa bisa?


Siapa namamu tadi? Aku tidak ingat, tetapi kurasa kamu tidak perlu khawatir. Sebab masih ada sekuntum bunga purslane ungu di genggamanku. Pemberianmu, kan? Iya, benar. Aku ingat bagian itu. Aduh, sekarang aku harus bagaimana kalau aku ingin berterima kasih pada kamu, yang namanya tidak bisa kuingat itu? Siapa, ya? Siapa? Aduh, itu malah membuatku bertanya-tanya, kapan sebenarnya musim semi datang? Atau sudahkah dia berlalu? Karena bisa kulihat salju mulai berjatuhan di pekarangan taman bermain tempat aku berbaring dan diberi sekuntum purslane, macam orang mati. Orang mati! Astaga, mungkinkah aku sudah mati? Mungkinkah begitu artinya? 


Ketika kulihat depan, masih ada uap yang terbang menggelitik karena hangat napasku. Namun, aku tidak bohong kalau aku merasa mati rasa. Apakah seseorang hanya perlu merasa mati rasa untuk bisa mati? Lemahnya, manusia-manusia ini! Coba aku jadi peri. Atau Peter Pan! Sudah kubawa kamu berkelana, lalu menginap di Chateau Marmont─walau akan terlalu modern untuk kita nantinya. Jika sungguhan bisa begitu, mati tidak lagi terasa menakutkan, dan akan dengan senang hati kuterima sekarang juga.


Omong-omong soal mati, aku pernah melihat orang sekarat. Pamanku, lebih tepatnya, tetapi dia meninggal hanya karena napasnya habis. Sementara, aku tidak begitu. Napasku masih ada, masih menimbulkan uap yang sia-sia terbang ke Bima Sakti. Aku jadi bingung. Aduh, aku mati atau tidak, sih? Aduh, aduh, sayang sekali tidak ada yang bisa kutanya. Apakah kamu tidak mau kembali?


Hm.... Omong-omong lagi─bukan soal mati─salju warnanya putih, ya. Itu bukan pertanyaan. Orang buta warna saja tahu, tapi aku hanya senang untuk mengingatkanmu kalau musim salju selalu terasa menarik dan menyedihkan. Iya, kan? Kenyataannya memang begitu, dan nyatanya juga beda sekali dengan musim semi. Musim semi warnanya merah muda. Aku suka warna merah muda karena mengingatkanku pada hangatnya kedua pipimu waktu kusentuh. Meski begitu, meski kusukai sepenuh hati, musim semi tetap sama saja denganmu; pergi tidak bilang-bilang. Kenapa? Kenapa musim semi tidak berpamitan denganku sebelum pergi, ya? Kenapa kamu juga tidak? Bukan, bukan itu masalahnya! Masalahnya adalah, musim semi pernah menjanjikan sesuatu kepadaku. 


Kamu juga pernah menjanjikan sesuatu kepadaku.


Namun, sepertinya kalian berdua lupa.


Dan sekarang aku sudah mati─kalau-kalau saja aku memang sungguhan mati. Bukankah akan terlalu disayangkan? Bukankah setelah ini, kamu akan berubah menjadi manusia penuh penyesalan? Tidak perlu khawatir, sih. Sebab sejak awal kita memang terlahir dengan sendi-sendir penuh sesal. Kalau kamu ingat, seorang kawanku dulu pernah bilang, bahwa manusia itu sebenarnya bukan hewan kebijaksanaan. Baginya, terlihat jelas kalau manusia itu hewan yang terbentuk dari penyesalan. Mungkin memang begitu sebenarnya. Aku juga, dan sebentar lagi kamu juga. Kalau dipikir-pikir, keren juga, ya? Namun, tentunya tidak lebih keren dari Tuhan, dalam soal tipu-menipu.


Omong-omong lagi, semakin dingin di sini, dan aku mulai mengantuk. Hm,  bisakah orang mati merasakan kantuk? Aduh, aku ingin tahu jawabannya, tapi tidak ada orang lain yang bisa ditanya. Sebalnya! Toko roti di seberang sana juga telah redup, tidak ada gelak tawanya. Kamu juga tidak tertawa. Huh…. Dingin sekali, tanganku ini, tetapi kamu malah enggan menggegamnya dengan tidak berada di sisiku waktu musim dingin. 


Aduh, aduh, Tupelo berbohong kepadaku lagi rupanya. Ah, ya, sudahlah! Barangkali memang sebaiknya aku tidur saja, daripada menyumpah serapah. Orang mati macamku (kalau aku memang sungguhan mati) mungkin tidak ingin menyumpah serapah sebelum dijemput Bapak Kematian. Walaupun beberapa orang mati pasti akan bablas saja, karena merasa sudah kadung. Memang sudah kadung semuanya. Namun, aku merasa lebih dari cukup menjadi pendosa. Biar aku tidak semakin jadi manusia penuh sesal. Mungkin dengan begitu, Tuhan akan berbaik hati mengembalikan musim semiku─musim semi sayangku.


Ah, aku lelah sekali merasa mati rasa. Berbaringlah aku di tanah salju, yang hampir melenyak karena bobotku. Namun, bisakah orang mati memiliki bobot? Aneh juga, ya? Atau mungkin ini bukan karena bobot badanku. Mungkin ini bobot dari kepalaku yang besar kepala. Besar sekali memang kepalaku. 


Mungkin itu disebabkan karena, ketika aku menoleh ke arah barat, aku malah melihatmu di sana. Hm, kenapa aku malah melihatmu, ya? Kukira kamu sudah pergi, membawa kabur musim semiku. Aku kecewa, sih. Namun kedua pipimu tidak lagi bersemu, dan itu malah membuatku jadi sedih. Namun, jangan pergi dulu. Aku harus berterima kasih karena, walaupun kamu bawa kabur, masih berbaik hati kamu sisakan aku musim semi dengan sekuntum purslane ungu. Oh, ya, siapa namamu, ya? Aku lupa, maafkan aku. Hm, apa? Coba ulangi. Coba ucapkan lebih keras!


“...Selamat tidur, Vante.”


Aduh, aku masih belum tahu siapa namamu.


❄️


I might be downgrading when I wrote this. But I don’t mind. Sometimes, to write something without thinking too much about the plot, is enough reason to write something. And I think that the same goes for living. 


Comments

  1. Tidak, ini bagus sekali. Aduh, bagaimana bilangnya ya? Intinya ini sangat bagus sekali :D ah, jadi membayangkan Vante di atas tumpukan salju

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oh iya, apa bunga kesukaan kaka bunga Purslane?

      Delete
    2. Wah, halo! Terima kasih sudah membaca. Terima kasih juga untuk pujiannya. (。•́︿•̀。)

      Sejujurnya tidak juga, sih, haha. Bunga purslane hanya terlihat memiliki banyak makna walau bentukannya sangat sederhana. Namanya juga cantik. ^^

      Delete
    3. Ah, saya paham. Terima kasih atas penjelasannya ka :D hm, mungkin setelah ini saya akan menelisik info tentang Bunga Purslane :D

      Delete

Post a Comment

Popular Posts