suatu hari kulihat Tuhan mengubur tulang belulangmu yang masih subur


Aku adalah hantu di sudut kamarmu.


Aku adalah hantu di sudut kamarmu. Terbentuk dari debu luminans pada langit-langit kamar yang kamu kira mendung sejak subuh. Padahal, vas yang bunganya sudah kering di atas meja telah berkali-kali mengingatkanmu:


“Cat langit kamar ini sudah mengelupas, mereka membentuk awan-awan yang berteriak sana sini dengan naas,” kamu mengeluh, tepat saat air hujan yang merembes dari atap jatuh pada sepasang paru-parumu yang berkeluh. Ketika hujan semakin deras dan meredamkan cuitan-cuitan burung di angkasa, kamu melanjutkan, “Barangkali rumah ini memang sudah tidak layak lagi untuk ditinggali seorang manusia.”


Aku tahu, aku tahu. Bukan salahmu. Rumah ini sudah tua, memang sudah sepantasnya rapuh tulangnya. Namun, aku adalah hantu di sudut kamarmu, akulah yang jadi saksi ketika malam merenggut mimpi indahmu dan kamu menangis sambil merintih. Itu sebabnya aku masih mengenalmu dengan kelewat baik.


Kini kamu terjaga, menatap langit kamar yang diam-diam kamu harapkan sebiru langit cerah. Hela napas dan serangkai rasi bintang di matamu mengalir seperti serat perak di Bimasakti, mereka menjalar bak sesuatu yang juga mengalir dalam nadimu: kasih sayang dan darah merah. Sayangnya, tak kamu sadari itu, sehingga dengan kebutaan yang masih saja sama, kamu pun diam-diam berharap akan ada seseorang, siapapun dia, mau mencumbumu pilu.


“Coba bilang, mengapa panekuk di meja tak lagi terasa hangat? Dan mengapa jeruk-jeruk di musim ini rasanya sepahit patah hati?”


Kujawab, “Sebab aku tak lagi mengenal siapa diriku.”


*


Sayang, kalau burung-burung di semesta masih menetap di sini, maukah kamu menjaga diri baik-baik walau perih?



Comments

Popular Posts